Searching

Rabu, 10 Februari 2010

Jaring Patriarki dalam Kehidupan Perempuan

 


Jaring Laba-Laba” yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim merupakan salah satu cerpen yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Tema utama cerpen terpusat pada masalah psikologis sang tokoh utama – Dina.

Dina dibesarkan oleh seorang ibu yang berprinsip bahwa seorang perempuan harus selalu menjaga kebersihan karena dia adalah seorang perempuan. Sang ibu menambahkan “Kamar Masmu memang jorok. Tapi, Masmu kan laki-laki! ...” Kutipan ini menunjukkan salah satu stereotype kultur patriarki yang diyakini oleh sang ibu, “laki-laki boleh jorok karena dia laki-laki, perempuan tidak boleh jorok karena dia perempuan.” Ketimpangan dalam bidang kebersihan ini diterima oleh Dina begitu saja, tanpa protes, karena “Dina menganggap omongan ibu sangat benar.”

Dina tumbuh menjadi seorang perempuan cerdas, dia mengejar impian mendapatkan karir yang baik dengan kuliah di manca negara. Meskipun begitu, bayang-bayang stereotype kultur patriarki ajaran ibunya tetap saja bercokol di alam bawah sadarnya. Itu sebab dia bersedia berhenti dari pekerjaannya tatkala anaknya berusia empat tahun, setelah ibunya menelepon, “Baby sitter itu hampir membunuh anakmu. Ia menampar habis-habisan sulungmu, untungnya aku datang.” Dan karena kejadian itu, suaminya memintanya dengan sangat untuk berhenti bekerja.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, praktis pusat kehidupan Dina pun berkutat pada segala hal yang berhubungan dengan suami dan anaknya: mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak untuk keduanya, mempersiapkan pakaian bekerja untuk Bram, maupun seragam sekolah anaknya, dll. Ajaran sang ibu tentang “apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan di kultur patriarki” membuat Dina berpikir apa yang dilakukannya wajar-wajar saja. Toh dia menikahi Bram karena mencintainya.

Namun tanpa disadari oleh dirinya sendiri, maupun orang-orang terdekatnya, Bram sang suami dan ibunya, masalah psikologis Dina justru mulai mengkristal sejak saat itu. Dina tidak menyadari bahwa kesibukannya mengerjakan pekerjaan rumah tangga membelenggu kebutuhannya untuk mengejar kepuasan secara intelektual – bekerja sesuai dengan tingkat pendidikan yang dia kejar sampai ke mancanegara. Kebutuhan intelektualnya terabaikan. Meskipun begitu, Dina merasa tak mampu melepaskan diri dari belenggu rumah tangganya karena ajaran sang ibu kepadanya sejak Dina kecil.

Bayangan nyamuk yang tak mampu berkutik akibat terperangkap dalam jaring laba-laba yang biasa dia perhatikan sejak kecil ternyata melekat erat dalam benak Dina. Hal ini mulai menghantui jiwa Dina karena dia merasakan hal yang sama: dialah sang nyamuk yang terperangkap dalam belenggu pekerjaan rumah tangga. Bram dan anaknya yang merupakan pusat pekerjaan rumah tangganya pun memberikan kesan mereka lah penyebar jaring laba-laba yang membuat Dina terpaksa mengabaikan kebutuhannya sendiri.

Namun ternyata Bram justru menertawakannya tatkala Dina berkata, “Saya seperti nyamuk yang dilahap oleh laba-laba dan laba-laba itu adalah kau dan anakmu.” Sementara itu ibunya pun tak bisa memahami apa yang dirasakannya.

Bram dan sang ibu merupakan perwakilan masyarakat dalam kultur patriarki yang berkonsensus bahwa pusat kehidupan seorang perempuan setelah menikah adalah suami dan anak. Dina merupakan korban konsensus seperti ini karena dia tidak berani memberontak untuk kemudian mengambil langkah frontal. Meskipun merasa terperangkap dalam jaring laba-laba yang diakibatkan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dan ibu, Dina masih melanjutkan kehidupannya seperti itu. Keadaan jiwanya pun semakin terganggu karenanya.

 
Bisa dipahami jika kemudian satu hari Bram membawa Dina ke psikolog. Bram – dan juga sang psikolog yang pola pikirnya pun patriarki – tidak pernah bisa mengerti mengapa Dina senantiasa menganggap Bram dan anaknya laksana laba-laba yang terus menerus memerangkapnya dengan segala tugas rumah tangga. Tidak merasa puas karena konsultasi dengan psikolog tidak mampu ‘menyembuhkan’ Dina dari bayang-bayang jaring laba-laba, Bram pun memasukkan Dina ke rumah sakit jiwa.

Kultur masyarakat patriarki menjunjung tinggi peran seorang “perempuan sejati”, yakni sebagai istri dan ibu. Itu sebab masyarakat patriarki tidak pernah bisa memahami mengapa seorang perempuan merasa tidak bahagia dalam mengerjakan “tugas mulianya” sebagai seorang istri dan ibu. Dalam cerpen ini, selain merasa tidak bahagia, Dina pun merasa terbelenggu dan tersiksa saat memainkan perannya sebagai “perempuan sejati”. Meski lulusan universitas luar negeri, Dina lebih mendengarkan apa yang dikatakan oleh masyarakat yang berada di luar dirinya. Dina mengabaikan apa yang dikatakan oleh kata hatinya. Pertentangan inilah yang mengakibatkan Dina kehilangan akal sehatnya. 

 
PT56 23.32 090210

Selasa, 02 Februari 2010

Berimajinasi untuk melampiaskan emosi

 


“Berburu Beruang” merupakan salah satu cerpen karangan Puthut EA yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Tema cerita berkutat pada kisah hidup salah satu tokoh utama yang bernama ‘mas Burhan’ yang diceritakan oleh sang narator – si aku dalam cerpen ini – yang berarti cerpen ini ditulis dari sudut pandang orang pertama tunggal.
Artikel ini akan menyoroti salah satu unsur prosa – tokoh dan karakternya – untuk mencari apa yang ingin disampaikan oleh pengarangnya kepada para pembaca. Ada dua tokoh utama yang akan dianalisis di sini, yakni mas Burhan dan sang ‘aku’.

Mas Burhan dikisahkan sebagai seorang mantan aktivis yang tak pernah lelah berjuang untuk masyarakat kecil melawan ketidakadilan penguasa negara. Sepak terjangnya dimulai semenjak dia duduk di bangku kuliah – dimana dia melibatkan diri dalam ontran-ontran Malari – sampai tiga puluh tahun kemudian dia tetap dikenal sebagai aktivis. Tak heran jika dia dijuluki “pembangkang sepanjang umur” atau “pendekar subversif”. Konon, masyarakat pun memitoskannya.

Seperti sebuah koin, segala sesuatu di dunia ini senantiasa memiliki dua sisi, positif dan negatif. Jikalau mas Burhan dianggap ‘pahlawan’ bagi masyarakat, belum tentu bagi keluarganya sendiri dia juga diberi julukan yang sama. Hal ini terbukti ketika ‘akhirnya’ dia merasa berdosa karena menelantarkan keluarganya sekian lama – tidak memiliki rumah sehingga harus pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain dikarenakan jika dia memiliki uang, dia gunakan uangnya untuk kegiatan sosial; sibuk ‘menjadi aktivis’ sehingga tak pernah menemani keluarganya. Baru di usianya sekitar pertengahan lima puluh tahun, dia akhirnya memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita”. Dia tinggalkan ‘dunia aktivis’ untuk menjadi suami yang seluruh waktunya dia habiskan di tanah pertanian organiknya, dekat dengan keluarganya. 

 
Namun ternyata jiwa aktivisnya tak begitu saja padam setelah dia memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita” Mas Burhan menunjukkan sifat gelisah yang tak mudah dibendung jika terjadi peristiwa yang mengganggu pikirannya, misal tatkala pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM. Dia ingin “turun ke jalan” namun tak diturutkannya hasrat itu. Akibatnya justru membuat repot istrinya, karena dia tidak mau makan dan berhari-hari tinggal di ladang.

Kegelisahannya akan terobati dengan cara dia melakukan suatu kegiatan dimana dia bisa mengeluarkan segenap emosi yang ada di dalam pikirannya. Dalam cerita ini, mas Burhan mengajak sang narator untuk bermain imajinasi dengan berburu beruang.
Sang ‘aku’ yang merupakan sahabat lama mas Burhan sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan sang “pembangkang sepanjang umur” tersebut sehingga dia rela menyempatkan diri berkunjung ke kediaman sahabatnya – meninggalkan kesibukannya sendiri – untuk menemani mas Burhan “bermain-main dengan imajinasinya”.

Dari analisis kedua tokoh di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jiwa aktivis yang merasuk ke dalam diri mas Burhan tidak begitu saja mudah dikendalikan, disimpan di lubuk hati yang terdalam, kemudian menutup mata dan hati tatkala melihat keangkaramurkaan terjadi. Apalagi dia telah melibatkan diri dalam dunia ‘pembangkangan’ itu dalam kurun waktu yang tidak singkat, lebih dari setengah umur yang telah dia habiskan di muka bumi ini (Di paragraf keempat disebutkan mas Burhan berumur hampir enam puluh tahun.) Seseorang yang berjiwa sosialis tidak akan kehilangan sifat ini sampai berapa pun umurnya.

Dari hubungan baik antara mas Burhan dan sang tokoh ‘aku’, kita bisa menyimpulkan bahwa jiwa ‘brotherhood’ antara sesama aktivis sangatlah kuat terjalin mengingat mereka mengalami masa-masa sulit bersama, membangkang sang penguasa yang lalim bersama-sama dalam kurun waktu tertentu. Rasa ‘kebersamaan’ yang dipupuk tersebut tidak akan hilang dengan mudah, sehingga tatkala salah satu dari mereka membutuhkan pertolongan, yang lain akan segera memberikannya.

PT56 17.47 30.01.2010