IKSAKA BANU
Bagi mereka yang belum familiar dengan nama pengarang satu ini, Iksaka Banu memiliki spesialisasi pengarang cerita dengan latar belakang sejarah. Pertama, saya berkenalan dengan kumpulan cerpennya yang berjudul "SEMUA UNTUK HINDIA", yang diterbitkan pada tahun 2014. Buku kumpulan cerpennya yang kedua berjudul "TEH DAN PENGKHIANAT" terbit pada tahun 2019.
Pada tahun 2020, Iksaka Banu bersama Kurnia Effendi berkolaborasi menghasilkan novel yang berjudul "PANGERAN DARI TIMUR" yang mengisahkan tentang pelukis Raden Saleh. Di tahun 2023 ini Iksaka menerbitkan novel "RASINA", yang tetap berlatar belakang sejarah, pada masa kolonial Belanda.
RASINA
Tulisan di bawah ini saya sarikan dari mengikuti zoominar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM beberapa bulan lalu, yang mengupas tentang RASINA.
Tanya:
- Mengapa Iksana Banu menggunakan tokoh berkulit putih sebagai tokoh utama dalam novel RASINA? Dan bukan 'Rasina' itu sendiri? Dan sang tokoh ini memiliki kepedulian yang cukup terhadap orang-orang pribumi. Apakah Iksaka ingin lebih melegitimasi posisi orang kulit putih yang lebih 'tinggi' ketimbang orang-orang kulit berwarna?
- Ada kemiripan dengan kisah di buku Multatuli, seseorang yang berkulit putih namun sangat peduli pada bangsa yang dijajah oleh negaranya.
Iksaka menjelaskan bahwa novel RASINA merupakan 'kepanjangan' dari cerpennya yang berjudul "Kalabaka", salah satu cerpen yang ada dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "THE DAN PENGKHIANAT". Kalabaka adalah salah satu tokoh yang hidup di Banda di awal abad ke-17. Kalabaka menjadi 'jembatan' komunikasi antara VOC dan penduduk asli Banda saat VOC akan melakukan 'perdagangan' pala, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Portugis dan Inggris.
Pandemi sedang melanda dunia waktu Iksaka Banu melakukan riset untuk menulis RASINA. Semula dia akan berangkat ke pulau Banda sendiri untuk melakukan riset yang lebih mendalam, namun pandemi menghalanginya. Maka, dia hanya bisa melakukan riset secara online, dari jurnal-jurnal ilmiah, disertasi (tentang kondisi Banda di abad 17 itu) dll.
Mengapa menggunakan POV orang pertama?
Karena kalau menggunakan POV orang ketiga, si pengarang layaknya Tuhan mengetahui segala yang terjadi. padahal dengan resources yang baginya kurang memadai, Banu jelas tidak berani menggunakan POV orang ketiga ini. maka dia menggunakan POV pertama, yang sekaligus juga memiliki kelebihan: pembaca merasa turut merasakan emosi sang tokoh utama, sang 'aku'.
Ada dua plot dalam RASINA, yang pertama terjadi di awal abad 17, setting di Banda. tokoh utama -- sang aku -- adalah Hendriek Cornelis Adam. Plot kedua terjadi menjelang akhir abad 18 (ada jeda sekitar 150 tahun), setting di Batavia. tokoh utamanya Joost Borstveld.
Untuk menyoroti apa yang terjadi di Banda di awal abad 17: tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda oleh Belanda, Iksaka menciptakan tokoh Hendriek sebagai juru tulis, yang menulis apa saja yang terjadi. Di plot kedua, Joost membaca buku harian Hendriek, yang merupakan kakek Jan Aldemaar Staalhart, atasan Joost.
RASINA, judul novel ini, adalah seorang budak yang hidup di menjelang akhir abad 18. Adalah tidak mungkin menceritakan segala tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda ini dari kacamata seorang budak seperti Rasina. itulah sebabnya, Iksaka menggunakan dua plot yang berkelindan satu sama lain. Iksaka tidak bisa menggunakan Kalabaka sebagai tokoh utama karena dalam kenyataannya dia mati saat pembasmian penduduk Banda. Jika di awal abad 17, Iksaka menyoroti tingkah laku para pejabat VOC zaman itu, yang sewenang-wenang terhadap penduduk asli Banda, di plot yang kedua, Iksaka lebih menyoroti tindak korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, yang di kemudian hari menyebabkan jatuhnya VOC.
N.B.:
Iksaka mengaku belum membaca buku Multatuli :)