Searching

Sabtu, 10 Januari 2009

llmiah versus Mistis

Bahwa seorang Andrea Hirata adalah seseorang yang menjunjung tinggi sains merupakan sesuatu yang sangat jelas terlihat dalam keempat novelnya yang tergabung dalam tetralogi LASKAR PELANGI. Alasannya tentu sangat jelas: latar belakang pendidikan yang dia terima di Universitas Sorbonne Prancis, dimana dia bergaul dengan para ilmuwan tingkat tinggi dunia. Dalam tulisan ini, aku akan lebih fokus ke MARYAMAH KARPOV, novel keempat, karena buku inilah buku yang terakhir kubaca. (You can conclude that I am just lazy to browse the other three novels to prove my statement, to prepare this post of mine. LOL.)
Seorang anak pantai desa yang terpencil, yang mendapatkan pendidikan master dalam bidang ekonomi di sebuah universitas paling bergengsi di Eropa, bermimpi untuk membuat perahu dengan tangannya sendiri! Mimpi Ikal ini bisa menjadi nyata karena dorongan dan dukungan kuat dari sang super genius, sahabatnya di kala duduk di bangku SD dan SMP. Lintang—sang Isac Newton-nya Ikal—menjadikan impian itu menjadi nyata dengan perhitungan matematika yang njlimet. Ikal—yang mengaku selalu berada di bawah bayang-bayang kegeniusan Lintang di bangku sekolah—menggabungkannya dengan kerja keras yang tanpa ampun, dengan iming-iming akan menemukan BINTANG KEJORA dalam kehidupan cintanya, A LING.
Pertanyaan selanjutnya adalah: cukupkah ilmu membuat kita mampu memahami segala misteri dalam hidup ini?
Jawabannya ada pada mozaik 60 yang berjudul NAI. Mahar—sahabat Ikal yang lain—berada pada kutub yang berseberangan dengan Lintang yang memandang segala hal dari segi ilmiah. Kebalikannya, Mahar mengimani hal-hal mistis yang tidak akan pernah masuk akal para ilmuwan di Universitas bergengsi manapun di dunia ini. Hal-hal mistis yang bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan akan menceburkan seseorang menjadi musyrik, ahli neraka yang berada paling di keraknya. Dalam NAI, Mahar mementalkan keimanan Ikal kepada segala yang berbau ilmiah, sehinga terpaksa mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi ilmu. Kebalikannya, ada hal-hal yang dengan mudah terpecahkan jika kita menyandarkan kepercayaan diri kepada ilmu.
Ketika membaca perpaduan dua hal ini—yang ilmiah dan masuk akal, konon ciri khas kehidupan orang-orang modern; berbanding lurus dengan yang mistis, konon ciri khas kehidupan orang-orang zaman dahulu kala—mengingatkanku pada BILANGAN FU, novel ketiga karya Ayu Utami. Ayu Utami menjelaskannya dengan sangat sederhana: POINT OF VIEW, alias cara pandang yang berbeda. Orang-orang modern memandang kemistisan—misal: seseorang bisa memelet orang yang mencuri hatinya hanya dengan menjampi-jampi air ludah yang dikeluarkan oleh orang tersebut; atau bahwa Nyi Roro Kidul tetap hidup dan berkuasa di pantai Selatan dan selalu mempersuami semua raja-raja di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta, ataupun Keraton di Kasunanan Mangkunegaran—dengan keukeuh menggunakan kacamata orang modern yang bersandar pada keilmiahan.
Cara mudahnya bagaimana kita bisa menghasilkan ‘pemandangan’ yang berbeda tatkala kita memandang satu permasalahan yang sama tatkala kita memandang dari sisi yang berbeda: lihatlah Tugumuda—the landmark of Semarang—dari arah Wisma Perdamaian, dan dari lantai atas Lawangsewu. Atau contoh lain: dalam salah satu adegan dalam film DEAD POETS SOCIETY, John Keating, sang guru Bahasa dan Sastra Inggris yang baru, meminta siswanya untuk naik meja dan berdiri di atasnya, memandang suasana kelas dari arah yang berbeda. “You’ll find a very different view, that is very interesting.”
Kalau kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa pentingnya memahami segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, untuk menuju kehidupan yang lebih damai di antara kita semua, makhluk penghuni planet Bumi ini. Yang selalu menggunakan kacamata kuda yang bernama “patriarki”, pandanglah—misal, permasalahan poligami—dari kacamata feminis. Contoh lain: para religious snob—from any celestial religion—memandang bahwa Tuhan itu mencintai semua umat-Nya tidak pandang bulu, gunakanlah kacamata para kaum sekuler. Para kaum heteroseksual yang merasa diri ‘normal’, cobalah menggunakan kacamata kaum homoseksual. Dalam hal ini, para religious snob pun bisa mengaplikasikannya, sehingga tidak selalu menyerang kaum homoseksual dari satu kacamata saja, dari satu interpretasi ayat kitab Suci saja.
Jika para pengunjung dan pembaca blogku ‘membalikkannya’ dengan mengatakan, “Na, cobalah kamu pahami kasus poligami bukan dari interpretasi Alquran yang feminis, namun dari interpretasi yang patriarkal...” oh well, aku telah hidup menggunakan kacamata TUNGGAL interpretasi Alquran yang patriarki selama 35 tahun takala aku mendapatkan pencerahan dari ideologi feminisme, so, I do understand it very well.
Kembali ke cara pandang yang ilmiah dan mistis (baik dalam MARYAMAH KARPOV maupun BILANGAN FU), well, hidup ini memang sangatlah kaya dan kompleks. Mari kita menikmatinya dengan cara saling toleran satu sama lain, untuk menciptakan kehidupan yang lebih indah dan damao.
LL Tbl 11.34 100109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar