Searching

Selasa, 18 Juli 2023

R A S I N A

 


IKSAKA BANU

 

Bagi mereka yang belum familiar dengan nama pengarang satu ini, Iksaka Banu memiliki spesialisasi pengarang cerita dengan latar belakang sejarah. Pertama, saya berkenalan dengan kumpulan cerpennya yang berjudul "SEMUA UNTUK HINDIA", yang diterbitkan pada tahun 2014. Buku kumpulan cerpennya yang kedua berjudul "TEH DAN PENGKHIANAT" terbit pada tahun 2019.

 

Pada tahun 2020, Iksaka Banu bersama Kurnia Effendi berkolaborasi menghasilkan novel yang berjudul "PANGERAN DARI TIMUR" yang mengisahkan tentang pelukis Raden Saleh. Di tahun 2023 ini Iksaka menerbitkan novel "RASINA", yang tetap berlatar belakang sejarah, pada masa kolonial Belanda.

 

RASINA

 

Tulisan di bawah ini saya sarikan dari mengikuti zoominar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM beberapa bulan lalu, yang mengupas tentang RASINA.

 

Tanya:

 

  1. Mengapa Iksana Banu menggunakan tokoh berkulit putih sebagai tokoh utama dalam novel RASINA? Dan bukan 'Rasina' itu sendiri? Dan sang tokoh ini memiliki kepedulian yang cukup terhadap orang-orang pribumi. Apakah Iksaka ingin lebih melegitimasi posisi orang kulit putih yang lebih 'tinggi' ketimbang orang-orang kulit berwarna?
  2. Ada kemiripan dengan kisah di buku Multatuli, seseorang yang berkulit putih namun sangat peduli pada bangsa yang dijajah oleh negaranya.

 

Iksaka menjelaskan bahwa novel RASINA merupakan 'kepanjangan' dari cerpennya yang berjudul "Kalabaka", salah satu cerpen yang ada dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "THE DAN PENGKHIANAT". Kalabaka adalah salah satu tokoh yang hidup di Banda di awal abad ke-17. Kalabaka menjadi 'jembatan' komunikasi antara VOC dan penduduk asli Banda saat VOC akan melakukan 'perdagangan' pala, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Portugis dan Inggris.

 

Pandemi sedang melanda dunia waktu Iksaka Banu melakukan riset untuk menulis RASINA. Semula dia akan berangkat ke pulau Banda sendiri untuk melakukan riset yang lebih mendalam, namun pandemi menghalanginya. Maka, dia hanya bisa melakukan riset secara online, dari jurnal-jurnal ilmiah, disertasi (tentang kondisi Banda di abad 17 itu) dll. 

 

Mengapa menggunakan POV orang pertama? 

 

Karena kalau menggunakan POV orang ketiga, si pengarang layaknya Tuhan mengetahui segala yang terjadi. padahal dengan resources yang baginya kurang memadai, Banu jelas tidak berani menggunakan POV orang ketiga ini. maka dia menggunakan POV pertama, yang sekaligus juga memiliki kelebihan: pembaca merasa turut merasakan emosi sang tokoh utama, sang 'aku'. 

 

Ada dua plot dalam RASINA, yang pertama terjadi di awal abad 17, setting di Banda. tokoh utama -- sang aku -- adalah Hendriek Cornelis Adam. Plot kedua terjadi menjelang akhir abad 18 (ada jeda sekitar 150 tahun), setting di Batavia. tokoh utamanya Joost Borstveld. 

 

Untuk menyoroti apa yang terjadi di Banda di awal abad 17: tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda oleh Belanda, Iksaka menciptakan tokoh Hendriek sebagai juru tulis, yang menulis apa saja yang terjadi. Di plot kedua, Joost membaca buku harian Hendriek, yang merupakan kakek Jan Aldemaar Staalhart, atasan Joost. 

 

RASINA, judul novel ini, adalah seorang budak yang hidup di menjelang akhir abad 18. Adalah tidak mungkin menceritakan segala tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda ini dari kacamata seorang budak seperti Rasina. itulah sebabnya, Iksaka menggunakan dua plot yang berkelindan satu sama lain. Iksaka tidak bisa menggunakan Kalabaka sebagai tokoh utama karena dalam kenyataannya dia mati saat pembasmian penduduk Banda. Jika di awal abad 17, Iksaka menyoroti tingkah laku para pejabat VOC zaman itu, yang sewenang-wenang terhadap penduduk asli Banda, di plot yang kedua, Iksaka lebih menyoroti tindak korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, yang di kemudian hari menyebabkan jatuhnya VOC.

 

 

 N.B.:

Iksaka mengaku belum membaca buku Multatuli :)

Jumat, 22 April 2022

T R I F L E S

 


 

'TRIFLES' is always in the curriculum of DRAMA ANALYSIS CLASS that I handle in the even semester.

 

PLOT

 

This one-act drama written by Susan Glaspell tells us about a murder of a husband, John Wright. His wife, Mrs. Wright -- her maiden name was Minnie Foster -- was the suspect since she was the last person seen when a neighbor -- Mr. Hale -- found Mr. Wright dead in his house. The following day after the finding, Mr. Hale came back to the house together with the Sheriff and County Attorney to gather evidence -- either to make themselves convinced that Mrs. Wright was the murderer or on the way around: they might find fingerprints of the 'real murderer'. These three men were accompanied by Mrs. Hale -- the wife of the neighbor -- and Mrs. Peter -- the wife of the Sheriff. The two women were about to collect some personal belongings of Mrs. Wright who apparently was already in custody; these personal belongings were, among other things. clothes, some stuff to quilt, etc.

 

Glaspell intentionally showed the contradictory traits between men and women: the  three men paid more attention to anything 'big' or 'serious' to collect evidence, because the crime done was also a serious one: murder. On the contrary, the two women took a very close look at some 'trivial things (alias 'trifles') such as, preserves, bread set, a large sewing basket and a piece cloth Mrs. Wright was quilting. In the end, it turned out that the women even found the evidence that strongly showed Mrs. Wright was the murderer from those trifles, while the men did not find any. However, to show 'loyalty to the same gender' -- as accused by the County Attorney when Mrs. Hale defended Mrs. Wright when the County Attorney said bad things about how messy the kitchen of Mr. Wright's house was -- the two women kept the evidence for themselves. 

 

DESPERATE HOUSEWIFE -- an analysis

 

From the conversation between Mrs. Hale and Mrs. Peters, one can conclude that John Wright had a contradictory trait from his wife, Minnie Foster. Before marrying John, Minnie was a very cheerful girl, singing in a choir, wearing pretty dresses as well as colorful ribbons on her hair. Meanwhile, John belonged to a very quiet man. He refused the offer of Mr. Hale to 'go on a party telephone' by saying that 'folks talked too much'. Apparently he didn't like noise at all.

 

Because of that, it can be concluded that during their marriage -- for about thirty years -- Minnie was forced to be someone else who was not herself in the past. She could not sing, she could not enjoy having a company -- let us say when a neighbor dropped by at her house. Mrs. Hale herself as a neighbor said that she did not really like visiting the Wrights' house since John did not like it.

 

When the two women found a dead canary hidden inside a box in the sewing basket, they directly drew a conclusion what made Minnie killed her husband. John killed Minnie's only entertainment. (Mrs. Hale said that only a year ago Minnie bought the canary, 29 years after the wedding, after 29 years living in a quietness and being repressive.) It can be interpreted that John killed Minnie's soul. No longer could Minnie control her emotion, she killed her husband.

 

HISTORICAL BACKGROUND

 

The choice of 'kitchen' as the main setting by Glaspell refers to the setting considered as the only women's sphere in that era. 'Trifles' was written in 1916, the decade considered to be important before American women got their right to vote in 1920 after struggling to get it since the first summit in 1848. Despite the fact that women had spent some decades for that demand, the government did not really pay attention to it.

 

Through this play, Glaspell wanted to criticize the government that it was high time for them to give right to women to be involved in 'men's spheres'. Although 'only' gathering evidence through trivial things -- homemaking stuff -- in the so-called unimportant setting, the two women found evidence as well as the motif why Minnie Foster killed the husband.

 

A woman indeed will be able to do anything that people might think impossible when she is cornered, when she is forced.

 

PT56 21.24 220411

Selasa, 23 September 2014

Violent Humans in THE LOTTERY

Based on THE LOTTERY, a short story by Shirley Jackson

HUMANS ARE INHERENTLY VIOLENT?
Babies are born, innocent; “like a white paper” people say. Then it depends on people around those babies: whether they will teach the babies about love to others regardless different races, skin color, etc; or they will generate hatred to others only due to the fact that others are different from them.

However many people are of opinion that in fact when humans were born, violent ‘talent’ was innate in them. Therefore, even though those babies are raised by loving and compassionate people, and they are taught about love, it is still possible that they will be cruel.

The story of THE LOTTERY described the violent nature of people very well. The villagers did not think of their peers compassionately; “We only do our rituals that our ancestors have practiced,” Old Man Warner – who has participated in such ritual for 77 times – said. Those people seemed like they have lost their kindness. After someone “won” the lottery, without thinking more, the villagers directly threw stones to the winner.  

CAN WE EXPECT PEOPLE TO BECOME NONVIOLENT?

When it is related to “rituals” a group of people have done for long, (where in practicing the ritual those people do something cruel to others), critical thinking is needed. People are supposed to use their common sense to question the practice of the violent ritual. To be able to think critically, one needs guts to deconstruct the status quo.


In THE LOTTERY, Tesse Hutchinson was one woman who had guts to question the ritual. Unfortunately, she was the one who “won” the lottery.

GG 08.40 24/09/2014

Sabtu, 07 Juli 2012

Lelaki Tercipta untuk Meninggalkan Perempuan?


LELAKI TERCIPTA UNTUK MENINGGALKAN PEREMPUAN?


Sula novel by Toni Morrison
“Men were created only to leave their women.” Kata Sula pada Nel, sahabatnya sejak kecil dalam novel yang berjudul SULA karangan Toni Morrison. Sula menggunakan ‘excuse’ ini sebagai alasan ketika Nel bertanya kepada Sula mengapa Sula dengan tega tidur bersama Jude, suaminya Nel. So, tidak peduli dengan siapa pun Jude berselingkuh, akhirnya Jude toh tetap akan meninggalkan Nel.

Mungkin cara berpikir Oka Rusmini tidak jauh berbeda dari Toni Morrison lewat penokohan Sula dalam novelnya ketika dia menulis cerpen (yang panjang) yang berjudul “Tiga Perempuan”. (Cerpen pertama dalam buku KumCer “Akar Pule”) Pudak – atau sering disebut ‘jegeg’ maupun ‘tugeg’ si anak pertama – adalah tokoh sentral, si “aku” dalam cerpen ini. Pudak memiliki seorang adik perempuan bernama Melati. Ketika mereka masih termata muda, Pudak berusia 8 tahun sedangkan Melati 4 tahun, ayah mereka – yang disebut ‘Aji’ – meninggalkan istri yang ibu Pudak dan Melati demi perempuan lain. Karena tidak tahan diperlakukan demikian, ibu mereka pun menyerahkan Pudak dan Melati kepada nenek dari ayah mereka, yang disebut Tuniang, agar dia bisa bebas menikah dengan lelaki lain. Istri kedua Aji, memberi seorang anak perempuan lagi yang namanya tidak disebut oleh Oka.

Kumpulan Cerpen karya Oka Rusmini
Tanpa alasan yang jelas Pudak bercerita bahwa suami yang telah dia pilih untuk dia nikahi selama puluhan tahun memiliki kekasih maya, (Pudak pernah menolak perjodohan yang diatur oleh neneknya dengan lelaki yang beragama dan kasta sama) dimana mereka berdua selalu berhubungan di malam hari, mulai pukul sepuluh malam ketika Pudak baru saja tertidur dengan kedua anaknya, Jasmine dan Plato, hingga pukul empat pagi. Bahkan mereka berdua menyebut diri sebagai “sejoli malam”. Meski telah jelas-jelas menemukan bukti perselingkuhannya – lewat email, sms, maupun YM – sang suami selalu menolak mengakuinya. Terus bersikukuh bahwa hubungan yang mereka miliki adalah hubungan bisnis semata.

Meski digambarkan Pudak terus menerus mengeluh, Oka tidak membuatnya sebagai seorang tokoh perempuan yang gagah berani, misalnya dengan berani memutuskan bercerai. Apakah karena dia telah dibuang oleh keluarganya karena menikahi lelaki yang berbeda agama hingga berarti dia juga telah kehilangan posisi terhormatnya sebagai perempuan yang berasal dari kasta tertinggi? Hanya satu kali dikisahkan Pudak akan bunuh diri dengan mnjatuhkan mobil yang dia naiki bersama kedua anaknya ke jurang. Usaha bunuh diri ini digagalkan oleh seorang perempuan yang menatap matanya dengan tajam dan menyuruhnya untuk menatap wajah kedua anaknya yang duduk di bangku belakang mobil.

Melati – sang adik – menikahi lelaki dari agama dan kasta yang sama. Dan ternyata hal ini tidak berarti bahwa dia memiliki perkawinan yang lebih bahagia dari pada kakaknya. Oka tidak menjelaskan apa sebabnya sehingga Melati memutuskan bercerai. (Dalam hal ini Melati terlihat lebih ‘berani’ memutuskan sesuatu demi kelangsungan hidupnya sendiri.)

“AJI memang bukan bapak yang baik. Mungkin kalian tahu dan paham itu,” ... “Aji tidak akan pernah melarang kalian pulang. Pulanglah kalian, kapan pun kalian mau. (Halaman 15)

Mungkin menyadari bahwa ketidakbahagiaan anak-anaknya juga berasal dari apa yang dia lakukan di masa lalu, maka sang ayah pun menawarkan ‘sanctuary’ untuk anak-anaknya. Jika bagi keluarga ‘terhormat’ (dalam hal agama dan kasta) lain menerima kembali anak perempuan yang telah menikah merupakan aib, (anak perempuan yang telah menikah dalam budaya Bali dianggap telah menjadi milik keluarga laki-laki/sang suami), si tokoh AJI disini memilih sifat yang bertolak belakang. Demi untuk menebus dosa masa lalu?

Si anak perempuan ketiga – adik tiri Pudak dan Melati – dikisahkan bunuh diri setelah membunuh anaknya yang berusia satu tahun. Dia tidak mampu menahan duka hatinya setelah menangkap basah suaminya berselingkuh sepanjang lima tahun usia pernikahannya.

“Kalau kalian punya problem, datanglah padaku. Rumah besar dan tabunganku masih bisa menghidupi seratus cucuku.” Kata sang Aji dingin, seusai upacara pemakaman anak perempuan bungsunya. (halaman 44)

Dalam cerpen yang lumayan panjang ini, tidak hanya tiga perempuan ini saja yang memiliki kisah ditinggalkan oleh lelakinya. Masih ada beberapa tokoh perempuan lain yang dikisahkan memiliki nasib yang sama, tak pandang apakah dia seorang perempuan yang cantik jelita, kaya, berpendidikan tinggi, maupun perempuan yang buruk rupa, miskin, dan tidak berpendidikan. Pada dasarnya mereka akan memiliki kisah yang sama – ditinggalkan oleh lelaki yang pernah berjanji bahwa mereka akan menjadi satu-satunya perempuan yang mereka puja.

Jika kita membaca karya-karya Oka Rusmini, kita akan mendapati beberapa tema utama yang hampir setipe dengan cerpennya yang berjudul “Tiga Perempuan” ini.
1.   Dikhianati oleh lelaki
2.   Dibuang oleh keluarga karena (seorang perempuan) menikahi laki-laki yang beragama lain atau berasal dari kasta yang lebih rendah
3.   Kultur Bali yang sangat patriarki – misal seorang perempuan otomatis menjadi milik keluarga suami yang menikahinya, dan jika sampai terjadi perceraian, anak-anak secara hukum adat menjadi milik keluarga ayah

Latar belakang Oka Rusmini yang perempuan Bali, berasal dari kasta Brahmana, kemudian menikah dengan laki-laki non Bali tentu sangat mempengaruhi karya-karyanya. Dikarenakan tema yang sering ‘gloomy’ maka kata-kata yang dipilih pun bernuansa murung, sedih, dan luka.
Kembali ke awal tulisan, apakah memang laki-laki tercipta untuk meninggalkan perempuannya (baca รจ istri) untuk perempuan lain (atau laki-laki lain?)

PT28 14.14 070712

Senin, 25 Juni 2012

Perempuan Buruh = Budak?


 
Ini respons yang langsung melintas dalam benakku seusai membaca cerpen "Kebun Teh", salah satu cerpen yang terhimpun dalam KumCer Perempuan Kopi.

Salah satu (atau dua ya?) pembaca yang menghadiri acara bincang-bincang buku Perempuan Kopi pada hari Jumat 22 Juni 2012 telah sempat menyinggung topik cerpen yang satu ini: bahwa perempuan yang hidup di perkebunan dan bekerja menjadi buruh -- atau apa pun posisinya -- tak pernah secara utuh memiliki tubuhnya, dan juga hidupnya. Bahkan, seorang perempuan bisa jadi juga bukan milik suami yang secara legal menikahinya.

Hal ini mengingatkanku ketika membaca novel Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe, yang konon merupakan salah satu trigger pecahnya perang saudara di Amerika Serikat pada tahu 1860 - 1865. Para budak itu sama sekali tak punya hak untuk memiliki hidupnya, hidup mereka adalah milik tuan tanah yang juga memiliki mereka. Terserah para tuan tanah akan melakukan apa pun terhadap hidup para budak itu; misal dijadikan sapi perah untuk terus bekerja dari pagi hingga petang, dijadikan mesin penghasil bayi (agar lebih banyak bayi yang dilahirkan dimana nantinya akan tumbuh menjadi budak yang dimiliki), atau hanya 'sekedar' menjadi budak seks sang tuan tanah.

Meski sangat menentang praktik perbudakan -- dalam bentuk apa pun juga -- aku berpikir yang dilakukan oleh para tuan tanah di Amerika Serikat bagian Selatan waktu itu masih bisa 'dikunyah' akal.

Namun jika ternyata praktik yang tidak jauh beda itu juga dilakukan di perkebunan-perkebunan di Indonesia, dimana para pekerja disana mendapat upah -- yang meski mungkin tidak layak -- akan tetapi predikat mereka bukanlah 'budak', mereka adalah pekerja.

Dewi Nova (DN) menyatakan bahwa ketigabelas cerpen yang dia tulis berdasarkan realitas hidup yang dia amati dalam kehidupannya sehari-hari. Secara lugas DN mengatakan bahwa topik cerpen dalam "Kebun Teh" pun dia ambil dari kenyataan yang pernah dia lihat sendiri.

Seorang peserta bincang-bincang buku "Perempuan Kopi" mengatakan di Kalimantan (atau Sumatra ya?) dia pernah mendapati praktik serupa. Namun lebih 'setara'. Ada suami istri yang posisinya paling tinggi di sebuah perkebunan. Jika sang istri sedang pergi jauh dalam waktu lumayan lama, sang suami meminta anak buahnya untuk bergilir mengirim istri-istri mereka untuk 'menemani'nya. Juga sebaliknya, jika sang suami pergi jauh dalam waktu lama, sang istri akan meminta anak buah suaminya -- yang laki-laki karena kebetulan sang istri ini hetero -- untuk 'menemaninya'.

Ada satu kalimat yang sangat aku sukai dari cerpen "Kebun Teh".

Teringat pesan bapak, jangan pernah melukai tubuh perempuan yang melahirkan anak-anakmu, aku tak pernah membicarakan hal itu dengan istriku, apalagi melukai tubuhnya. (halm. 40)

PT28 15.31 230612

Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang akan digusur tanggal 1 Desember 2012 nanti. :'(


orangjava wrote on Jun 27
Pekerja Wanita Indonesia di Arab dijadikan BUDAK....
afemaleguest wrote on Jun 27
orangjava said
Pekerja Wanita Indonesia di Arab dijadikan BUDAK....
betul itu Pak Dhe :(
orangjava wrote on Jun 27
betul itu Pak Dhe :(
Memang malah ada 2TKI yang dibawa Kedubes ARAB SAUDI, gak boleh keluar mereka kabur, minta bantuan ke POLISI, anehnya masih saja Pemerintah RI mengirim tenaga² ke ARAB, aku ora mudenk.......
afemaleguest wrote on Jun 27
orangjava said
Memang malah ada 2TKI yang dibawa Kedubes ARAB SAUDI, gak boleh keluar mereka kabur, minta bantuan ke POLISI, anehnya masih saja Pemerintah RI mengirim tenaga² ke ARAB, aku ora mudenk.......
karena pemerintah sendiri ga mampu menyediakan lapangan kerja buat mereka :-(
afemaleguest wrote on Jun 27
meluncuuurrr
orangjava wrote on Jun 27
Dulu sampe persoalan ini gede..http://www.spiegel.de/spiegel/print/d-79175749.html.....coba pake Tante GOOGLE...
rengganiez wrote on Jun 27
dijadikan mesin penghasil bayi (agar lebih banyak bayi yang dilahirkan dimana nantinya akan tumbuh menjadi budak yang dimiliki)
di Indonesia juga ada :-(
afemaleguest wrote on Jun 27
sedihnyaaa :-(
martoart wrote on Jun 27
setidaknya di dunia jaman sekarang secara resmi sudah dinyatakan terlarang. hukum yg beradab pada moral kemanusiaan suah diterapkan, meski ada praktek yg melanggarnya.

yg sedih adalah di dunia jaman sekarang masih ada yg secara resmi menerapkan hukum tidak beradab. tki yg dikirim, secara hukum negeri penerima bukan lagi dihitung pekerja, tapi dibeli sebagai budak.
orangjava wrote on Jun 27
martoart said
setidaknya di dunia jaman sekarang secara resmi sudah dinyatakan terlarang. hukum yg beradab pada moral kemanusiaan suah diterapkan, meski ada praktek yg melanggarnya.

yg sedih adalah di dunia jaman sekarang masih ada yg secara resmi menerapkan hukum tidak beradab. tki yg dikirim, secara hukum negeri penerima bukan lagi dihitung pekerja, tapi dibeli sebagai budak.
Malah BUDAKnya sampe dibawa ke Berlin segala...untung bisa kabur...
afemaleguest wrote on Jun 28
how I hate that foolish so-called 'religious' chauvinist country! :-(((
agamfat wrote on Jun 27
Di Saudi praktek ginian melenggang bebas, dg segala ayat dan pembela
afemaleguest wrote on Jun 28
how I hate that country! :-(
rembulanku wrote on Jun 28
ck ck ck nasibnya perempuan kok ya masih menyedihkan
afemaleguest wrote on Jun 28
begitulah La :-(
nanaskuningkeci wrote on Jun 28
jd teringat film Abraham Lincoln : Vampire Hunter mengenai perang amerika itu jadinya
afemaleguest wrote on Jun 28
ahaaa
aku belum nonton :-)