Searching

Kamis, 08 Juli 2010

Perempuan Sejenisku

Coleman

 
PEREMPUAN SEJENISKU
Wanda Coleman
(diterjemahkan secara bebas oleh seorang Nana Podungge)

kuikuti lekuk liku penisnya
dengan lidahku

ada warna tertentu yang dimiliki para perempuan
sepertiku, yang biasa dilihat oleh kaum lelaki

berada di lapisan paling bawah dimana tekanan
terasa sangat kuat, berupa kaum yang paling tak diingini
hingga rasanya mati jauh lebih baik
begitu kupikir

ada warna tertentu dimana perempuan
kaumku dipandang oleh lelaki kulit hitam
sebagai orang suci
sebagai ibu
sebagai saudara
sebagai pelacur
namun yang paling sering sebagai musuh

ini bukanlah salah kami, kami adalah korban
yang memilih untuk terus berjuang dan terus hidup

ada warna tertendu dimana perempuan
kaumku dipandang oleh lelaki kulit putih
sebagai makhluk eksotis
sebagai musuh
namun yang paling sering sebagai pelacur

luka yang cukup membuatku menangis
namun tak kulakukan

kuikuti lekuk liku penisnya
dengan lidahku

akankah kupandang
matahari!


Gombel Lama 13.13 delapan juli duaribu sepuluh

Satu hal penting untuk dikemukakan di awal yakni Wanda Coleman adalah seorang pengarang perempuan berkulit hitam sehingga akan mudah bagi kita untuk melakukan interpretasi atas puisinya ini. Coleman menuliskan duka hatinya terlahir sebagai perempuan berkulit hitam di Amerika Serikat.

Sejarah tentang praktek perbudakan di negeri Paman Sam selama kurang lebih duaratus tahun tentu sangat menentukan bagaimana masyarakat dimana memperlakukan ‘saudara-saudara’ mereka yang berkulit hitam. Jika sampai sekarang saja kaum perempuan berkulit putih disana masih merasa dinomorduakan, apalagi kaum perempuan berkulit hitam. (Bukti, Hillary Clinton tidak disukai ketika dia menominasikan diri untuk maju ke pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Bukti lain, di pertengahan tahun 1980-an, tatkala salah seorang dosenku – perempuan – mengambil gelar master dan doktor di Amerika, dia mendapat applause yang sangat hebat ketika dia memperkenalkan posisi dia di almamaterku sebagai kepala jurusan Sastra Inggris. Konon di Amerika sana, posisi kepala jurusan, apalagi Dekan dan di atas itu, sangatlah ‘maskulin’ alias dipegang oleh kaum berpenis.)

Maka, jika masyarakat Amerika bisa dibagi menjadi kasta-kasta tertentu (berdasarkan jenis kelamin, plus warna hitam dan putih, bukan berdasarkan race yang banyak dijumpai di sana), maka ada empat kasta utama. Paling tinggi adalah laki-laki berkulit putih, di bawahnya, perempuan berkulit putih, di bawahnya lagi laki-laki berkulit hitam, dan yang paling bawah adalah perempuan berkulit hitam. Inilah yang dimaksud oleh Coleman dalam puisinya pada baris kelima dan keenam being on the bottom where pressures are greatest dan juga least desirable.

Laki-laki berkulit hitam sendiri menganggap rendah perempuan berkulit hitam, seperti yang terlihat pada bait keempat. Ada saat-saat tertentu dimana perempuan berkulit hitam dianggap sebagai orang suci, yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah mendendam, sebagai satu sikap menerima nasib terlahir sebagai perempuan berkulit hitam; mereka harus menerima itu. Selain itu, mereka juga dianggap sebagai seorang ibu; di satu sisi sebagai ‘mesin pembuat anak’ karena pada saat-saat tertentu kaum kulit hitam mengidolakan perempuan berkulit hitam yang subur. Pada zaman perbudakan dulu, para pemilik budak memaksa budak-budak perempuannya untuk dihamili oleh budak-budak laki-lakinya – atau terkadang para pemilik budak itu meniduri budak-budak perempuannya sendiri – untuk memiliki budak lebih banyak. Hal ini dianggap lebih murah daripada harus membeli budak baru di pasar budak. Anak-anak yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan budak otomatis akan menjadi budak pula, dan menjadi hak milik sang tuan (pemilik budak). Di sisi lain, perempuan berkulit hitam dianggap sebagai ibu yang seharusnya memberi pengayoman kepada kaum lelaki berkulit hitam, tatkala mereka membutuhkannya. Hal ini sama dengan ‘peran’ sebagai ‘sister’. Sedangkan peran sebagai ‘pelacur’ ini juga merupakan ‘warisan’ zaman perbudakan dulu; perempuan berkulit hitam – sebagai kelas masyarakat yang paling hina – harus mau diapakan saja. Pada baris terakhir bait keempat, but mostly as the enemy menjelaskan bagaimana tatkala kaum laki-laki kulit hitam frustrasi atau marah kepada kaum kulit putih, namun tak berani mengungkapkan hal tersebut, maka perempuan kulit hitamlah yang menjadi ‘bemper’ alias korban sasaran kemarahan laki-laki kulit hitam. Sebagaimana kaum kulit putih menyiksa kaum kulit hitam (terutama laki-laki) di masa perbudakan dulu, begitu pula laki-laki kulit hitam menyiksa perempuan kulit hitam.

Bait keenam menggambarkan bagaimana laki-laki kulit putih memandang perempuan kulit hitam: eksotis, seperti kita tahu kaum kulit putih mengidolakan warna ‘tan’, sehingga perempuan kulit berwarna nampak eksotis di mata mereka; enemy meski menganggap mereka eksotis, namun karena selama berabad-abad kaum kulit hitam dianggap hina, bahkan kadang lebih hina dibandingkan binatang (dalam novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe perlakuan ini jelas digambarkan), laki-laki kulit putih tak berani melakukan tindakan yang lebih daripada hanya memandang mereka dari kejauhan, atau menyiksa mereka sebagai ungkapan kemarahan yang tidak jelas sebabnya mengapa. Atau paling banter adalah menganggap mereka sebagai but mostly as whores. Puisi ini ditulis ketika perbedaan kulit putih dan kulit hitam masih sangat mendalam, dimana laki-laki kulit putih akan sangat dilecehkan oleh masyarakat jika jatuh cinta kepada perempuan berkulit hitam. Jika yang sebaliknya yang terjadi, perempuan kulit putih jatuh cinta pada laki-laki kulit hitam, sang laki-laki akan dibunuh dengan cara digantung di pohon ramai-ramai oleh kaum kulit putih. (lynching )


lynching

Dalam versi Bahasa Inggris, dengan sengaja Coleman menulis i yang berarti saya dengan huruf kecil untuk menunjukkan betapa perempuan berkulit hitam tidak memiliki arti apa pun di tengah masyarakat Amerika. blow job yang dilakukan oleh perempuan kulit hitam (seperti yang tertulis pada larik kesatu dan kedua, kemudian diulangi lagi pada larik keduapuluh lima dan duapuluh enam) menunjukkan rendahnya posisi perempuan berkulit hitam.

Bait terakhir merupakan tanya Coleman akankah ada masa depan yang cerah bagi perempuan kaumnya.

GL7 13.59 080710

Interpretasi dalam Bahasa Inggris bisa diklik disini Women of My Color

Minggu, 27 Juni 2010

Topeng Nalar versus North Country


Dalam tulisan kali ini aku ingin membandingkan sebuah cerpen berjudul “Topeng Nalar” karya Dewi Ria Utari dengan sebuah film yang berjudul “North Country”. (untuk sinopsis cerita film ini, klik saja http://nana-podungge.blogspot.com/2009/03/north-country.html )




Satu hal yang membuatku tiba-tiba tertarik untuk membandingkan kedua cerita ini adalah kedua cerita tersebut memiliki tokoh utama yang sama, yakni seorang single parent yang memiliki dua orang anak, yang pertama laki-laki yang kedua perempuan. Lebih mengerucut lagi, anak pertama dilahirkan tanpa tahu siapa sang ayah, sedangkan anak kedua dari seorang laki-laki yang dengan resmi menikahi sang tokoh perempuan. Perbedaannya adalah, tokoh Josey Aimes dalam “North Country” meninggalkan suaminya karena KDRT yang dilakukan oleh suaminya terus menerus, sedangkan tokoh “aku” dalam “Topeng Nalar” ditinggal pergi oleh suaminya begitu saja dengan alasan ‘melaut’ dan tidak pernah kembali lagi. Kesimpulannya memang akhirnya menjadi sama, kedua perempuan ini menjadi single parent disebabkan KDRT.


Kemiripan lain lagi adalah kedua tokoh tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi yang membuat mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup layak untuk menghidupi kedua anak mereka. Josey semula ‘hanya’ bekerja sebagai seorang hairdresser di sebuah salon dengan gaji yang pas-pasan, sampai akhirnya dia bertemu dengan teman SMAnya, Glory, yang telah bekerja di sebuah perusahaan pertambangan, Pearson Taconite and Steel Inc, dengan gaji yang lumayan. Kebetulan di pertengahan tahun 1980-an itu perusahaan pertambangan tersebut memang mulai membuka lowongan untuk pekerja perempuan. Karena keinginan Josey yang kuat untuk memberi penghidupan yang layak untuk kedua anaknya, ia pun melamar pekerjaan di Pearson Taconite and Steel Inc, walau ia ditentang oleh ayahnya sendiri yang meski sudah puluhan tahun bekerja di perusahaan yang sama, merasa malu jika anak perempuannya bekerja di perusahaan yang “seharusnya” hanya untuk kaum laki-laki saja.

Sang “aku” dalam “Topeng Nalar” bekerja di sebuah perusahaan rokok sebagai buruh ‘nglinthing rokok” setelah tak banyak lagi tanggapan untuk menari Topeng maupun Tayub dia terima lagi. Menyadari bahwa ‘profesi’ sebagai penari tidak memberinya pemasukan yang cukup (budaya tradisional telah tergusur dengan budaya-budaya modern tentu saja), sang “aku” tidak ingin mewariskan kemahirannya menari kepada sang anak kedua, yang bernama “Nalar”. Dia ingin garis keturunan penari topeng berhenti di tubuhnya, tak perlu ia menurunkannya kepada Nalar. Dia yakin meski sedikit namun rutin, penghasilan yang dia terima sebagai buruh pabrik rokok akan mampu membiayai anak-anaknya sekolah sampai paling tidak lulus SMA. Setelah itu, dia akan merasa cukup puas jika anaknya bekerja sebagai buruh pabrik, penjaga toko, maupun sales.

Dalam North Country, hubungan buruk antara Josey dan Sammy, anak pertama, dilandasi oleh ketidakterbukaan antara mereka berdua. Di luaran memang gosip yang terdengar adalah Josey – di usianya yang masih belia, 16 tahun – telah berhubungan seks dengan beberapa laki-laki, sehingga dia sendiri tidak tahu siapakah yang telah menanamkan benih di tubuhnya. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah Josey diperkosa oleh salah satu guru SMA-nya. Josey tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan kepada Sammy apa yang terjadi di masa lalu, tanpa harus melukai perasaan Sammy, karena dia sebenarnya adalah anak hasil perkosaan. Sementara itu, yang didengar oleh Sammy adalah ibunya seorang perempuan murahan yang melakukan hubungan seks dengan banyak laki-laki, karena kecantikan fisik yang kebetulan ia miliki.

“Rahasia” ini akhirnya terbongkar juga dalam sidang pengadilan antara Pearson Taconite and Steel Inc versus Josey Aimes, sebagai penggugat karena pelecehan seksual yang dia terima tatkala bekerja di perusahaan pertambangan tersebut. Pengacara yang disewa oleh perusahaan tersebut berusaha menguatkan opini bahwa Josey adalah perempuan murahan dengan memanggil guru SMA Josey sebagai salah satu “sex partner” nya waktu SMA; satu hal yang ternyata malah justru membuka borok lama, pemerkosaan tersebut.

Mengetahui bahwa dia adalah anak hasil pemerkosaan sangat memukul Sammy. Namun di sisi lain, hal ini malah membuka komunikasi terbuka antara ibu dan anak, yang akhirnya justru memperbaiki hubungan keduanya. Dengan kemenangan kasus pelecehan seksual di pengadilan pada pihak Josey meyakinkan Sammy bahwa ibunya bukanlah perempuan murahan. Sementara itu, menyadari bahwa sang ibu memilih untuk meneruskan kehamilannya – meski kehamilan itu hasil pemerkosaan – Sammy pun tahu bahwa itu benar-benar pilihan sang ibu yang memutuskan untuk tidak ‘menghukum’ jabang bayi dengan menggugurkannya.

Dalam Topeng Nalar hubungan buruk antara sang “aku” sebagai ibu dan Danu, anak pertamanya memang benar-benar didasari oleh ketidaktahuan sang “aku” siapakah yang telah menghamilinya. Senantiasa menganggap Danu sebagai salah satu kesialan dalam hidupnya, sang “aku” pun memperlakukan Danu dengan tidak semestinya seorang ibu meperlakukan seorang anak. Dia sering menyia-nyiakan Danu, memarahinya dengan alasan yang tidak jelas, dll. Hingga akhirnya Danu memilih minggat dari rumah.

Sementara itu, Nalar yang sangat ingin belajar menari Topeng, merasa Danulah satu-satunya orang yang memahaminya. Sang “aku” dengan kukuh tidak mau mengajari Nalar menari karena dia beranggapan menari tidak akan memberi penghasilan yang layak untuk Nalar di kemudian hari. Dia juga tidak tega jika mengharuskan Nalar menjalani berbagai tirakat yang harus dijalankan untuk menjadi seorang penari Topeng. Sementara itu, Danu justru senang membuatkan topeng-topeng untuk Nalar dari bahan kayu yang bisa dia peroleh dari daerah sekitar. Hal inilah yang lebih merekatkan hubungan emosi antara Danu dan Nalar.


Cerita berakhir dengan minggatnya Danu dan Nalar berdua, meninggalkan sang ibu yang kebetulan pada waktu itu mendapatkan tanggapan menari Topeng.

“North Country” berdasarkan kisah nyata sedangkan “Topeng Nalar” aku yakin hanyalah sebuah kisah fiksi belaka, meski bisa jadi juga terinspirasi dari kisah nyata yang pernah didengar/dibaca oleh sang penulis. Di sini aku tidak hanya menggunakan teori Comparative Literature, namun juga intertextual theory yang memungkinkan seorang kritikus, atau siapa pun itu untuk membandingkan dua karya atau lebih, meski memiliki beda genre. Dalam tulisan ini adalah perbandingan antara cerita pendek dan film. Kedua teori ini sangat dimungkinkan untuk mengkaji kedua cerita tersebut karena memiliki satu benang merah yang bisa kita kaitkan sebagai ‘universal theme’, yakni kehidupan seorang single parent yang disebabkan oleh KDRT.

PT56 16.27 270610

"Perbatasan" dari Sudut Pandang Feminisme



Bahwa karya sastra merupakan satu cermin dari apa yang terjadi di masyarakat adalah satu hal yang telah dikenal semenjak zaman Aristotle, dengan pendekatan yang ia sebut sebagai “mimesis”. Teori ini ‘dikembangkan’ oleh para kritikus Sastra di kemudian hari menjadi “moral-philosophical approach” dimana sebuah karya sastra dianggap sebagai salah satu media untuk mengajarkan moral dan filosofi hidup kepada para pembaca. Di abad 20 dengan adanya “the second wave of feminist movement” di tahun 1960-an, bergulirlah sebuah teori baru yang disebut sebagai “Feminist Literary Criticism” dimana inti utamanya adalah “Reading as a Woman”.

Cerpen-cerpen Dewi Ria Utari bisa dikategorikan sebagai karya sastra yang berpijak pada inti utama Feminist Literary Criticism, yakni “membaca sebagai perempuan”. Dewi menuliskan karya-karyanya menggunakan cara pandangnya sebagai perempuan yang terlepas dari kungkungan budaya patriarkal, dimana sudut pandang laki-laki sebagai yang utama, sedangkan perempuan adalah “the other” atau sang liyan.

Perbatasan adalah salah satu judul cerpen karya Dewi Ria Utari dalam KumCer nya yang berjudul “Kekasih Marionette” (Gramedia, 2009). Cerpen ini berkisah tentang sebuah komunitas masyarakat yang terletak di satu lokasi di bumi, yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang kita kenal dimana kita merupakan salah satu penduduknya. Hanya saja yang membedakan para penghuni kampung di situ dari ‘masyarakat kita’ adalah “kepolosan” mereka memandang nuditas, cara pandang hubungan laki-laki dan perempuan yang murni dan tidak terdistraksi oleh ajaran-ajaran yang hipokrit, dimana selalu dan selalu tubuh perempuan menjadi komoditi yang mungkin diperjualbelikan, atau sebaliknya, harus ditutupi seluruhnya, karena dituduh sebagai sumber kemaksiatan.



Sangat jelas terlihat bahwa melalui cerpen ini Dewi mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah di Indonesia yang menganggap tubuh perempuan seharusnya ‘didomestikasikan’ yang justru semakin “menjauhkan manusia dari naluri mereka” (hal. 129). Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kutipan di bawah ini:

“Perempuan dilarang keluar malam.” (hal. 129)

”Aku bahkan tak habis pikir kenapa menangkapi perempuan yang keluar di malam hari.” (hal. 129)

”Gila! Mandi bersama lelaki dan perempuan? Itu porno sekali!” teriak Susan terkaget-kaget. ... “Porno itu apa? Kenapa kamu bilang gila? Kami bukan orang gila!” kataku. (hal. 126)



Selain mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan yang besumber dari kebencian (atau hiprokisi) dalam memandang tubuh perempuan, Dewi juga menyentil anggapan hubungan LGBT sebagai suatu penyakit masyarakat yang selayaknya dihapuskan. Anggapan ini pun tentu berdasarkan the so-called ajaran yang katanya berasal dari ‘langit’, yang tentu tak bisa dilepaskan dari hasil interpretasi para ahli agama yang notabene juga manusia biasa.

”Bergandengan tangan juga dihukum. Bahkan mereka mulai menangkapi lelaki yang tinggal bersama dengan teman lelakinya, juga perempuan-perempuan yang hidup satu rumah.” ... “Aku tersentak. Tak dapat kubayangkan betapa mengerikannya daerah asal ibuku. Bagaimana mungkin bergandengan tangan pun dilarang. Padahal di kampung ini, setiap orang berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Setiap bertemu, kami berciuman. Baik itu sesama perempuan, sesama lelaki, atau lelaki perempuan. Tak ada yang salah dari semua itu.” (hal. 129)

Judul Perbatasan dipilih oleh Dewi untuk menunjukkan bahwa ada perbatasan yang memisahkan masyarakat yang masih (i>“murni” dalam memandang hubungan laki-laki dan perempuan, dengan masyarakat yang telah terkontaminasi ajaran-ajaran tertentu. Dengan memilih seorang anak perempuan sebagai tokoh utama cerpen, Dewi ingin menekankan bahwa seorang anak itu masih polos memandang aspek-aspek kehidupan ini. Para orang tua yang ada di sekitarnya lah yang akan menyebabkannya menjadi hipokrit ataukah tetap polos.

Kembali ke tesis semula. Dalam cerpen ini Dewi terlihat jelas menggunakan perspektifnya sebagai perempuan yang mampu melepaskan diri dari hegemoni budaya masyarakat patriarki. Pemerintah dengan UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah telah begitu menggelisahkan sebagian masyarakat karena dianggap telah sangat campur tangan dalam kehidupan pribadi warga negara, menggunakan parameter yang tidak begitu jelas. Sebagai anggota masyarakat yang ingin mengkritisi pemerintah, kita bebas mengutarakannya melalui media apa saja. Jika aku menggunakan media blog, Dewi menggunakan karya sastra sebagai penyalurannya.

PT56 08.40 280610

Rabu, 10 Februari 2010

Jaring Patriarki dalam Kehidupan Perempuan

 


Jaring Laba-Laba” yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim merupakan salah satu cerpen yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Tema utama cerpen terpusat pada masalah psikologis sang tokoh utama – Dina.

Dina dibesarkan oleh seorang ibu yang berprinsip bahwa seorang perempuan harus selalu menjaga kebersihan karena dia adalah seorang perempuan. Sang ibu menambahkan “Kamar Masmu memang jorok. Tapi, Masmu kan laki-laki! ...” Kutipan ini menunjukkan salah satu stereotype kultur patriarki yang diyakini oleh sang ibu, “laki-laki boleh jorok karena dia laki-laki, perempuan tidak boleh jorok karena dia perempuan.” Ketimpangan dalam bidang kebersihan ini diterima oleh Dina begitu saja, tanpa protes, karena “Dina menganggap omongan ibu sangat benar.”

Dina tumbuh menjadi seorang perempuan cerdas, dia mengejar impian mendapatkan karir yang baik dengan kuliah di manca negara. Meskipun begitu, bayang-bayang stereotype kultur patriarki ajaran ibunya tetap saja bercokol di alam bawah sadarnya. Itu sebab dia bersedia berhenti dari pekerjaannya tatkala anaknya berusia empat tahun, setelah ibunya menelepon, “Baby sitter itu hampir membunuh anakmu. Ia menampar habis-habisan sulungmu, untungnya aku datang.” Dan karena kejadian itu, suaminya memintanya dengan sangat untuk berhenti bekerja.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, praktis pusat kehidupan Dina pun berkutat pada segala hal yang berhubungan dengan suami dan anaknya: mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak untuk keduanya, mempersiapkan pakaian bekerja untuk Bram, maupun seragam sekolah anaknya, dll. Ajaran sang ibu tentang “apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan di kultur patriarki” membuat Dina berpikir apa yang dilakukannya wajar-wajar saja. Toh dia menikahi Bram karena mencintainya.

Namun tanpa disadari oleh dirinya sendiri, maupun orang-orang terdekatnya, Bram sang suami dan ibunya, masalah psikologis Dina justru mulai mengkristal sejak saat itu. Dina tidak menyadari bahwa kesibukannya mengerjakan pekerjaan rumah tangga membelenggu kebutuhannya untuk mengejar kepuasan secara intelektual – bekerja sesuai dengan tingkat pendidikan yang dia kejar sampai ke mancanegara. Kebutuhan intelektualnya terabaikan. Meskipun begitu, Dina merasa tak mampu melepaskan diri dari belenggu rumah tangganya karena ajaran sang ibu kepadanya sejak Dina kecil.

Bayangan nyamuk yang tak mampu berkutik akibat terperangkap dalam jaring laba-laba yang biasa dia perhatikan sejak kecil ternyata melekat erat dalam benak Dina. Hal ini mulai menghantui jiwa Dina karena dia merasakan hal yang sama: dialah sang nyamuk yang terperangkap dalam belenggu pekerjaan rumah tangga. Bram dan anaknya yang merupakan pusat pekerjaan rumah tangganya pun memberikan kesan mereka lah penyebar jaring laba-laba yang membuat Dina terpaksa mengabaikan kebutuhannya sendiri.

Namun ternyata Bram justru menertawakannya tatkala Dina berkata, “Saya seperti nyamuk yang dilahap oleh laba-laba dan laba-laba itu adalah kau dan anakmu.” Sementara itu ibunya pun tak bisa memahami apa yang dirasakannya.

Bram dan sang ibu merupakan perwakilan masyarakat dalam kultur patriarki yang berkonsensus bahwa pusat kehidupan seorang perempuan setelah menikah adalah suami dan anak. Dina merupakan korban konsensus seperti ini karena dia tidak berani memberontak untuk kemudian mengambil langkah frontal. Meskipun merasa terperangkap dalam jaring laba-laba yang diakibatkan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dan ibu, Dina masih melanjutkan kehidupannya seperti itu. Keadaan jiwanya pun semakin terganggu karenanya.

 
Bisa dipahami jika kemudian satu hari Bram membawa Dina ke psikolog. Bram – dan juga sang psikolog yang pola pikirnya pun patriarki – tidak pernah bisa mengerti mengapa Dina senantiasa menganggap Bram dan anaknya laksana laba-laba yang terus menerus memerangkapnya dengan segala tugas rumah tangga. Tidak merasa puas karena konsultasi dengan psikolog tidak mampu ‘menyembuhkan’ Dina dari bayang-bayang jaring laba-laba, Bram pun memasukkan Dina ke rumah sakit jiwa.

Kultur masyarakat patriarki menjunjung tinggi peran seorang “perempuan sejati”, yakni sebagai istri dan ibu. Itu sebab masyarakat patriarki tidak pernah bisa memahami mengapa seorang perempuan merasa tidak bahagia dalam mengerjakan “tugas mulianya” sebagai seorang istri dan ibu. Dalam cerpen ini, selain merasa tidak bahagia, Dina pun merasa terbelenggu dan tersiksa saat memainkan perannya sebagai “perempuan sejati”. Meski lulusan universitas luar negeri, Dina lebih mendengarkan apa yang dikatakan oleh masyarakat yang berada di luar dirinya. Dina mengabaikan apa yang dikatakan oleh kata hatinya. Pertentangan inilah yang mengakibatkan Dina kehilangan akal sehatnya. 

 
PT56 23.32 090210

Selasa, 02 Februari 2010

Berimajinasi untuk melampiaskan emosi

 


“Berburu Beruang” merupakan salah satu cerpen karangan Puthut EA yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Tema cerita berkutat pada kisah hidup salah satu tokoh utama yang bernama ‘mas Burhan’ yang diceritakan oleh sang narator – si aku dalam cerpen ini – yang berarti cerpen ini ditulis dari sudut pandang orang pertama tunggal.
Artikel ini akan menyoroti salah satu unsur prosa – tokoh dan karakternya – untuk mencari apa yang ingin disampaikan oleh pengarangnya kepada para pembaca. Ada dua tokoh utama yang akan dianalisis di sini, yakni mas Burhan dan sang ‘aku’.

Mas Burhan dikisahkan sebagai seorang mantan aktivis yang tak pernah lelah berjuang untuk masyarakat kecil melawan ketidakadilan penguasa negara. Sepak terjangnya dimulai semenjak dia duduk di bangku kuliah – dimana dia melibatkan diri dalam ontran-ontran Malari – sampai tiga puluh tahun kemudian dia tetap dikenal sebagai aktivis. Tak heran jika dia dijuluki “pembangkang sepanjang umur” atau “pendekar subversif”. Konon, masyarakat pun memitoskannya.

Seperti sebuah koin, segala sesuatu di dunia ini senantiasa memiliki dua sisi, positif dan negatif. Jikalau mas Burhan dianggap ‘pahlawan’ bagi masyarakat, belum tentu bagi keluarganya sendiri dia juga diberi julukan yang sama. Hal ini terbukti ketika ‘akhirnya’ dia merasa berdosa karena menelantarkan keluarganya sekian lama – tidak memiliki rumah sehingga harus pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain dikarenakan jika dia memiliki uang, dia gunakan uangnya untuk kegiatan sosial; sibuk ‘menjadi aktivis’ sehingga tak pernah menemani keluarganya. Baru di usianya sekitar pertengahan lima puluh tahun, dia akhirnya memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita”. Dia tinggalkan ‘dunia aktivis’ untuk menjadi suami yang seluruh waktunya dia habiskan di tanah pertanian organiknya, dekat dengan keluarganya. 

 
Namun ternyata jiwa aktivisnya tak begitu saja padam setelah dia memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita” Mas Burhan menunjukkan sifat gelisah yang tak mudah dibendung jika terjadi peristiwa yang mengganggu pikirannya, misal tatkala pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM. Dia ingin “turun ke jalan” namun tak diturutkannya hasrat itu. Akibatnya justru membuat repot istrinya, karena dia tidak mau makan dan berhari-hari tinggal di ladang.

Kegelisahannya akan terobati dengan cara dia melakukan suatu kegiatan dimana dia bisa mengeluarkan segenap emosi yang ada di dalam pikirannya. Dalam cerita ini, mas Burhan mengajak sang narator untuk bermain imajinasi dengan berburu beruang.
Sang ‘aku’ yang merupakan sahabat lama mas Burhan sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan sang “pembangkang sepanjang umur” tersebut sehingga dia rela menyempatkan diri berkunjung ke kediaman sahabatnya – meninggalkan kesibukannya sendiri – untuk menemani mas Burhan “bermain-main dengan imajinasinya”.

Dari analisis kedua tokoh di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jiwa aktivis yang merasuk ke dalam diri mas Burhan tidak begitu saja mudah dikendalikan, disimpan di lubuk hati yang terdalam, kemudian menutup mata dan hati tatkala melihat keangkaramurkaan terjadi. Apalagi dia telah melibatkan diri dalam dunia ‘pembangkangan’ itu dalam kurun waktu yang tidak singkat, lebih dari setengah umur yang telah dia habiskan di muka bumi ini (Di paragraf keempat disebutkan mas Burhan berumur hampir enam puluh tahun.) Seseorang yang berjiwa sosialis tidak akan kehilangan sifat ini sampai berapa pun umurnya.

Dari hubungan baik antara mas Burhan dan sang tokoh ‘aku’, kita bisa menyimpulkan bahwa jiwa ‘brotherhood’ antara sesama aktivis sangatlah kuat terjalin mengingat mereka mengalami masa-masa sulit bersama, membangkang sang penguasa yang lalim bersama-sama dalam kurun waktu tertentu. Rasa ‘kebersamaan’ yang dipupuk tersebut tidak akan hilang dengan mudah, sehingga tatkala salah satu dari mereka membutuhkan pertolongan, yang lain akan segera memberikannya.

PT56 17.47 30.01.2010