Ini adalah judul sebuah cerpen karangan Jujur Prananto yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Cerpen ini langsung menarikku untuk membacanya—dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain karena ditilik dari judulnya, cerpen ini akan bercerita tentang perempuan. Apa yang ditulis oleh seorang laki-laki tentang perempuan? Mengapa kata ‘cantik’ perlu ditulis dalam judulnya?
Para ‘pejuang’ feminis lebih suka menggunakan istilah ‘perempuan’ daripada ‘wanita’. Singkat cerita, kata ‘wanita’ menurut “Old Javanese English Dictionary” (Zoetmulder, 1982) berarti “yang diinginkan”. Dalam kultur heteroseksual, yang menginginkan wanita tentu saja pria. Wanita akan merasa ‘penting’ jika dia diinginkan oleh pria. Dalam hal ini tentu saja kata ‘wanita’ memiliki sifat ‘diobjekkan’. Sedangkan kata ‘perempuan’ berasal dari kata dasar ‘empu’ yang berarti ‘yang mahir’. Hal ini berarti kata ‘perempuan’ memiliki sifat sebagai subjek.
Itu sebabnya, LSM ataupun organisasi perempuan lebih suka menggunakan kata ‘perempuan’ daripada kata ‘wanita. Contoh: LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak) Jogjakarta, dll. Para ‘pejuang’ perempuan tentu ingin perempuan menjadi subjek, menjadi penentu bagaimana dia akan mengambil langkah dalam hidupnya, terlepas dari konsensus yang ada dalam masyarakat patriarki.
Dua perempuan cantik dalam cerita tersebut ternyata seorang ibu dan anak remajanya. Dikisahkan keduanya sama-sama cantik dan mereka berdua sama-sama menikmati kecantikan mereka sehingga mereka pun ‘tergelincir’ melakukan kesalahan yang sama, yang melulu dikarenakan kecantikan fisik mereka.
Jika kukaji dari pemilihan kata ‘wanita’ sebagai judul, dan bukannya ‘perempuan’, bisa dipahami jika kedua perempuan tersebut terlena tatkala mereka menyadari bahwa mereka ‘diinginkan’ oleh pria; tidak mereka gunakan akal sehat mereka sehingga gampang saja diiming-imingi oleh harta. Kalau menggunakan kata ‘perempuan’, sebagai seorang ‘empu’, tidak selayaknya perempuan mudah dibohongi.
Hal ini membuatku bertanya-tanya:
Sedemikian rendahkah laki-laki memandang perempuan yang ‘hanya’ memiliki kecantikan fisik? Kalau memiliki kecerdasan, kayaknya ga mungkin kalau sampai terpedaya.
Ataukah memang para perempuan itu ‘sedemikian rendah’ sehingga para laki-laki pun berpandangan seperti itu? Sebagai perempuan yang tidak termasuk kategori ini aku tidak pernah bisa mengerti mengapa sebagian perempuan berpikiran seperti ini.
Perjuangan kaum feminis untuk membuat para perempuan percaya diri, dan bangkit untuk tidak melulu menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki (terutama dalam hal financial) masih membutuhkan waktu lamaaaaaaaaaa.
Now I want to comment the mother-daughter relationship.
Kekagetan sang Ibu tatkala menemukan lipstick di laci meja belajar sang anak menunjukkan ketidakterbukaan antara ibu dan anak ini.
Kaget, karena sang ibulah yang selama ini membelikan segala kebutuhan sang anak. Bagaimana mungkin sang anak yang baru berusia 16 tahun bisa memiliki lipstick, satu benda yang menurut sang ibu belum dia perlukan. Lagipula darimana sang anak memiliki uang lebih untuk membelinya?
Apa yang terjadi selanjutnya—seperti yang dikisahkan oleh sang pengarang—menunjukkan keterlambatan sang ibu untuk ‘menyelamatkan’ sang anak agar tidak mengambil langkah ‘keliru’ yang pernah diambilnya dulu. Mengapa terlambat? Karena sang anak telah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan sang ibu dulu, tentu tanpa sepengetahuannya.
Like mother like daughter.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, padahal sang ibu telah menutup rapat-rapat masa lalunya; padahal sang ibu telah memilih jalan ‘taubat’ dengan menutup rapat auratnya, yang berkonotasi dia tak lagi ingin ‘memanfaatkan kecantikan fisiknya’ untuk bertahan hidup, karena pengalaman hidup telah memberikan pelajaran yang berharga untuknya. Darimana cara sang anak meniru masa lalu sang ibu? Atau paling tidak memiliki cara berpikir yang sama dengan sang ibu? Anak perempuan selalu memiliki cara berpikir yang sama dengan sang itu?
Orang bijak bilang bahwa serapat-rapatnya kita menutup bangkai masa lalu, satu saat akan tercium juga. Ini sebabnya aku jauh lebih suka cara Lorelai Gilmore—dalam serial Gilmore Girls—memberitahukan kesalahan besar yang dia lakukan di masa lalu kepada anaknya, agar sang anak tidak melakukan kesalahan yang sama. Lorelai menunjukkan alasan kepada Rorie mengapa dia sampai terjerumus melakukan kesalahan besar itu—cara mendidik sang ibu yang over protective sehingga membuat Lorelai merasa hidup dalam penjara. Oleh karena itu, cara Lorelai membesarkan dan mendidik Rorie menggunakan cara yang bertolak belakang. Hubungan Lorelai dan Rorie jauh lebih menyerupai hubungan two bestfriends, instead of mother-daughter dimana sang ibu seolah memiliki policy ‘mother can do no wrong’ atau ‘you’ve got to do what I told you to do because I am older and more experienced so I know more things than you’.
Tentu tidak ada ilustrasi latar belakang Yustin—sang ibu dalam cerpen “Dua Wanita Cantik”—yang membuatku mengerti mengapa dia mengambil langkah menutupi masa lalunya dari Meta—sang anak. Namun, mengingat budaya orang Indonesia memang seperti ini—menutupi masa lalu dengan harapan bahwa anak-anak tidak akan mengetahui kesalahan besar dan agar anak-anak tidak meniru—bisa jadi memiliki orang tua yang biasa-biasa saja. Kesalahan melulu ada di pundak Yustin yang begitu menikmati kecantikan fisik yang dia miliki di masa remaja, yang membawanya ke sebuah kehidupan yang akhirnya hanya memberinya kepahitan hidup.
Apa yang akan dilakukan oleh Yustin setelah mengetahui bahwa Meta telah terjerumus melakukan kesalahan yang sama dengan apa yang dulu dia lakukan?
PT56 14.14 060909
Tidak ada komentar:
Posting Komentar