Searching

Minggu, 27 Juni 2010

Topeng Nalar versus North Country


Dalam tulisan kali ini aku ingin membandingkan sebuah cerpen berjudul “Topeng Nalar” karya Dewi Ria Utari dengan sebuah film yang berjudul “North Country”. (untuk sinopsis cerita film ini, klik saja http://nana-podungge.blogspot.com/2009/03/north-country.html )




Satu hal yang membuatku tiba-tiba tertarik untuk membandingkan kedua cerita ini adalah kedua cerita tersebut memiliki tokoh utama yang sama, yakni seorang single parent yang memiliki dua orang anak, yang pertama laki-laki yang kedua perempuan. Lebih mengerucut lagi, anak pertama dilahirkan tanpa tahu siapa sang ayah, sedangkan anak kedua dari seorang laki-laki yang dengan resmi menikahi sang tokoh perempuan. Perbedaannya adalah, tokoh Josey Aimes dalam “North Country” meninggalkan suaminya karena KDRT yang dilakukan oleh suaminya terus menerus, sedangkan tokoh “aku” dalam “Topeng Nalar” ditinggal pergi oleh suaminya begitu saja dengan alasan ‘melaut’ dan tidak pernah kembali lagi. Kesimpulannya memang akhirnya menjadi sama, kedua perempuan ini menjadi single parent disebabkan KDRT.


Kemiripan lain lagi adalah kedua tokoh tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi yang membuat mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup layak untuk menghidupi kedua anak mereka. Josey semula ‘hanya’ bekerja sebagai seorang hairdresser di sebuah salon dengan gaji yang pas-pasan, sampai akhirnya dia bertemu dengan teman SMAnya, Glory, yang telah bekerja di sebuah perusahaan pertambangan, Pearson Taconite and Steel Inc, dengan gaji yang lumayan. Kebetulan di pertengahan tahun 1980-an itu perusahaan pertambangan tersebut memang mulai membuka lowongan untuk pekerja perempuan. Karena keinginan Josey yang kuat untuk memberi penghidupan yang layak untuk kedua anaknya, ia pun melamar pekerjaan di Pearson Taconite and Steel Inc, walau ia ditentang oleh ayahnya sendiri yang meski sudah puluhan tahun bekerja di perusahaan yang sama, merasa malu jika anak perempuannya bekerja di perusahaan yang “seharusnya” hanya untuk kaum laki-laki saja.

Sang “aku” dalam “Topeng Nalar” bekerja di sebuah perusahaan rokok sebagai buruh ‘nglinthing rokok” setelah tak banyak lagi tanggapan untuk menari Topeng maupun Tayub dia terima lagi. Menyadari bahwa ‘profesi’ sebagai penari tidak memberinya pemasukan yang cukup (budaya tradisional telah tergusur dengan budaya-budaya modern tentu saja), sang “aku” tidak ingin mewariskan kemahirannya menari kepada sang anak kedua, yang bernama “Nalar”. Dia ingin garis keturunan penari topeng berhenti di tubuhnya, tak perlu ia menurunkannya kepada Nalar. Dia yakin meski sedikit namun rutin, penghasilan yang dia terima sebagai buruh pabrik rokok akan mampu membiayai anak-anaknya sekolah sampai paling tidak lulus SMA. Setelah itu, dia akan merasa cukup puas jika anaknya bekerja sebagai buruh pabrik, penjaga toko, maupun sales.

Dalam North Country, hubungan buruk antara Josey dan Sammy, anak pertama, dilandasi oleh ketidakterbukaan antara mereka berdua. Di luaran memang gosip yang terdengar adalah Josey – di usianya yang masih belia, 16 tahun – telah berhubungan seks dengan beberapa laki-laki, sehingga dia sendiri tidak tahu siapakah yang telah menanamkan benih di tubuhnya. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah Josey diperkosa oleh salah satu guru SMA-nya. Josey tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan kepada Sammy apa yang terjadi di masa lalu, tanpa harus melukai perasaan Sammy, karena dia sebenarnya adalah anak hasil perkosaan. Sementara itu, yang didengar oleh Sammy adalah ibunya seorang perempuan murahan yang melakukan hubungan seks dengan banyak laki-laki, karena kecantikan fisik yang kebetulan ia miliki.

“Rahasia” ini akhirnya terbongkar juga dalam sidang pengadilan antara Pearson Taconite and Steel Inc versus Josey Aimes, sebagai penggugat karena pelecehan seksual yang dia terima tatkala bekerja di perusahaan pertambangan tersebut. Pengacara yang disewa oleh perusahaan tersebut berusaha menguatkan opini bahwa Josey adalah perempuan murahan dengan memanggil guru SMA Josey sebagai salah satu “sex partner” nya waktu SMA; satu hal yang ternyata malah justru membuka borok lama, pemerkosaan tersebut.

Mengetahui bahwa dia adalah anak hasil pemerkosaan sangat memukul Sammy. Namun di sisi lain, hal ini malah membuka komunikasi terbuka antara ibu dan anak, yang akhirnya justru memperbaiki hubungan keduanya. Dengan kemenangan kasus pelecehan seksual di pengadilan pada pihak Josey meyakinkan Sammy bahwa ibunya bukanlah perempuan murahan. Sementara itu, menyadari bahwa sang ibu memilih untuk meneruskan kehamilannya – meski kehamilan itu hasil pemerkosaan – Sammy pun tahu bahwa itu benar-benar pilihan sang ibu yang memutuskan untuk tidak ‘menghukum’ jabang bayi dengan menggugurkannya.

Dalam Topeng Nalar hubungan buruk antara sang “aku” sebagai ibu dan Danu, anak pertamanya memang benar-benar didasari oleh ketidaktahuan sang “aku” siapakah yang telah menghamilinya. Senantiasa menganggap Danu sebagai salah satu kesialan dalam hidupnya, sang “aku” pun memperlakukan Danu dengan tidak semestinya seorang ibu meperlakukan seorang anak. Dia sering menyia-nyiakan Danu, memarahinya dengan alasan yang tidak jelas, dll. Hingga akhirnya Danu memilih minggat dari rumah.

Sementara itu, Nalar yang sangat ingin belajar menari Topeng, merasa Danulah satu-satunya orang yang memahaminya. Sang “aku” dengan kukuh tidak mau mengajari Nalar menari karena dia beranggapan menari tidak akan memberi penghasilan yang layak untuk Nalar di kemudian hari. Dia juga tidak tega jika mengharuskan Nalar menjalani berbagai tirakat yang harus dijalankan untuk menjadi seorang penari Topeng. Sementara itu, Danu justru senang membuatkan topeng-topeng untuk Nalar dari bahan kayu yang bisa dia peroleh dari daerah sekitar. Hal inilah yang lebih merekatkan hubungan emosi antara Danu dan Nalar.


Cerita berakhir dengan minggatnya Danu dan Nalar berdua, meninggalkan sang ibu yang kebetulan pada waktu itu mendapatkan tanggapan menari Topeng.

“North Country” berdasarkan kisah nyata sedangkan “Topeng Nalar” aku yakin hanyalah sebuah kisah fiksi belaka, meski bisa jadi juga terinspirasi dari kisah nyata yang pernah didengar/dibaca oleh sang penulis. Di sini aku tidak hanya menggunakan teori Comparative Literature, namun juga intertextual theory yang memungkinkan seorang kritikus, atau siapa pun itu untuk membandingkan dua karya atau lebih, meski memiliki beda genre. Dalam tulisan ini adalah perbandingan antara cerita pendek dan film. Kedua teori ini sangat dimungkinkan untuk mengkaji kedua cerita tersebut karena memiliki satu benang merah yang bisa kita kaitkan sebagai ‘universal theme’, yakni kehidupan seorang single parent yang disebabkan oleh KDRT.

PT56 16.27 270610

"Perbatasan" dari Sudut Pandang Feminisme



Bahwa karya sastra merupakan satu cermin dari apa yang terjadi di masyarakat adalah satu hal yang telah dikenal semenjak zaman Aristotle, dengan pendekatan yang ia sebut sebagai “mimesis”. Teori ini ‘dikembangkan’ oleh para kritikus Sastra di kemudian hari menjadi “moral-philosophical approach” dimana sebuah karya sastra dianggap sebagai salah satu media untuk mengajarkan moral dan filosofi hidup kepada para pembaca. Di abad 20 dengan adanya “the second wave of feminist movement” di tahun 1960-an, bergulirlah sebuah teori baru yang disebut sebagai “Feminist Literary Criticism” dimana inti utamanya adalah “Reading as a Woman”.

Cerpen-cerpen Dewi Ria Utari bisa dikategorikan sebagai karya sastra yang berpijak pada inti utama Feminist Literary Criticism, yakni “membaca sebagai perempuan”. Dewi menuliskan karya-karyanya menggunakan cara pandangnya sebagai perempuan yang terlepas dari kungkungan budaya patriarkal, dimana sudut pandang laki-laki sebagai yang utama, sedangkan perempuan adalah “the other” atau sang liyan.

Perbatasan adalah salah satu judul cerpen karya Dewi Ria Utari dalam KumCer nya yang berjudul “Kekasih Marionette” (Gramedia, 2009). Cerpen ini berkisah tentang sebuah komunitas masyarakat yang terletak di satu lokasi di bumi, yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang kita kenal dimana kita merupakan salah satu penduduknya. Hanya saja yang membedakan para penghuni kampung di situ dari ‘masyarakat kita’ adalah “kepolosan” mereka memandang nuditas, cara pandang hubungan laki-laki dan perempuan yang murni dan tidak terdistraksi oleh ajaran-ajaran yang hipokrit, dimana selalu dan selalu tubuh perempuan menjadi komoditi yang mungkin diperjualbelikan, atau sebaliknya, harus ditutupi seluruhnya, karena dituduh sebagai sumber kemaksiatan.



Sangat jelas terlihat bahwa melalui cerpen ini Dewi mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah di Indonesia yang menganggap tubuh perempuan seharusnya ‘didomestikasikan’ yang justru semakin “menjauhkan manusia dari naluri mereka” (hal. 129). Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kutipan di bawah ini:

“Perempuan dilarang keluar malam.” (hal. 129)

”Aku bahkan tak habis pikir kenapa menangkapi perempuan yang keluar di malam hari.” (hal. 129)

”Gila! Mandi bersama lelaki dan perempuan? Itu porno sekali!” teriak Susan terkaget-kaget. ... “Porno itu apa? Kenapa kamu bilang gila? Kami bukan orang gila!” kataku. (hal. 126)



Selain mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan yang besumber dari kebencian (atau hiprokisi) dalam memandang tubuh perempuan, Dewi juga menyentil anggapan hubungan LGBT sebagai suatu penyakit masyarakat yang selayaknya dihapuskan. Anggapan ini pun tentu berdasarkan the so-called ajaran yang katanya berasal dari ‘langit’, yang tentu tak bisa dilepaskan dari hasil interpretasi para ahli agama yang notabene juga manusia biasa.

”Bergandengan tangan juga dihukum. Bahkan mereka mulai menangkapi lelaki yang tinggal bersama dengan teman lelakinya, juga perempuan-perempuan yang hidup satu rumah.” ... “Aku tersentak. Tak dapat kubayangkan betapa mengerikannya daerah asal ibuku. Bagaimana mungkin bergandengan tangan pun dilarang. Padahal di kampung ini, setiap orang berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Setiap bertemu, kami berciuman. Baik itu sesama perempuan, sesama lelaki, atau lelaki perempuan. Tak ada yang salah dari semua itu.” (hal. 129)

Judul Perbatasan dipilih oleh Dewi untuk menunjukkan bahwa ada perbatasan yang memisahkan masyarakat yang masih (i>“murni” dalam memandang hubungan laki-laki dan perempuan, dengan masyarakat yang telah terkontaminasi ajaran-ajaran tertentu. Dengan memilih seorang anak perempuan sebagai tokoh utama cerpen, Dewi ingin menekankan bahwa seorang anak itu masih polos memandang aspek-aspek kehidupan ini. Para orang tua yang ada di sekitarnya lah yang akan menyebabkannya menjadi hipokrit ataukah tetap polos.

Kembali ke tesis semula. Dalam cerpen ini Dewi terlihat jelas menggunakan perspektifnya sebagai perempuan yang mampu melepaskan diri dari hegemoni budaya masyarakat patriarki. Pemerintah dengan UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah telah begitu menggelisahkan sebagian masyarakat karena dianggap telah sangat campur tangan dalam kehidupan pribadi warga negara, menggunakan parameter yang tidak begitu jelas. Sebagai anggota masyarakat yang ingin mengkritisi pemerintah, kita bebas mengutarakannya melalui media apa saja. Jika aku menggunakan media blog, Dewi menggunakan karya sastra sebagai penyalurannya.

PT56 08.40 280610