Pertama kali membaca THE ZOO STORY, naskah drama tulisan Edward Albee tatkala duduk di semester 2 American Studies Graduate Program, Universitas Gadjah Mada, dalam mata kuliah “The Comparative Literature” dengan Pak Bakdi Soemanto, salah satu budayawan terkenal yang tinggal di kota gudeg, Jogjakarta. Atau mungkin Pak Bakdi juga sudah memperkenalkan karya Albee ini tatkala aku menjadi salah satu mahasiswa S1 di jurusan Sastra Inggris UGM? Aku lupa. Kalaupun sudah, tentu topik utama diskusi berbeda, karena waktu aku duduk di S1, THE ZOO STORY dibahas sendiri, sedangkan dalam kuliah “The Comparative Literature”, kita membandingkan karya yang bisa dimasukkan ke dalam kategori absurd ini dengan salah satu karya Putu Wijaya (I am sorry, I forgot the title :( ) yang juga bisa dikategorikan karya absurd.
Semester ini untuk pertama kali dalam sejarah karier-ku mengajar TELAAH DRAMA, LOL, aku membahas THE ZOO STORY—yang aku kategorikan ke MODERN COMEDY work—sebagai karya bandingan LYSISTRATA—yang masuk kategori CLASSICAL COMEDY work.
THE ZOO STORY ditulis oleh Edward Albee pada tahun 1958. Meskipun di awal sejarahnya, THE ZOO STORY kurang laku di Amerika, sehingga pementasan pertamanya dilakukan di Berlin Jerman pada tanggal 28 September 1959, akhirnya THE ZOO STORY pun dipentaskan di Broadway pada tanggal 14 Januari 1960.
Untuk membahas THE ZOO STORY, aku memberikan 4 pertanyaan kepada para mahasiswa:
1. What is the main conflict of the story?
2. What kind of personality traits do the two characters—Jerry and Peter—have?
3. How do their family backgrounds differ from each other?
4. What is your reaction at the end of the play?
Konflik utama dari THE ZOO STORY adalah dampak modernisasi sebuah masyarakat yang membuat orang-orang menderita “penyakit” alienasi; keterasingan pada kehidupan yang mereka miliki. Latar belakang Jerry dan Peter yang bertolak belakang membuat mereka berdua memiliki sisi kepribadian yang berbeda pula. Jerry yang hidup seorang diri—di sebuah rumah susun yang kumuh, dengan landlady yang abusive dan anjingnya yang gila, menurut Jerry—plus tidak memiliki pekerjaan yang tetap nampak cemburu pada Peter yang memiliki kehidupan yang ‘utuh’, menikah, punya anak, yang masing-masing punya binatang kesayangan (satu hal yang jelas membedakan kultur Indonesia dengan Amerika—komentar salah satu mahasiswa, yang sehari sebelumnya kehilangan anjingnya. Di Amerika, seekor binatang kesayangan bisa dianggap sebagai salah satu anggota keluarga, sedangkan di Indonesia, seekor binatang peliharaan ya hanya dianggap sebagai seekor binatang belaka), dan memiliki pekerjaan yang ‘terhormat’ yang memberinya penghidupan yang mapan.
Jerry merasa asing dengan kehidupan Peter yang nampak hanya ada dalam buku-buku dongeng, sedangkan Peter pun merasa asing ada seseorang ‘gila’ seperti Jerry, yang tiba-tiba muncul dalam kehidupannya, dan hidup di sebuah rumah susun kumuh yang menurut Peter “It doesn’t sound like a very nice place ... where you live.” (1963:22)
Menilik masa lalu mereka berdua yang berbeda, tentu tidak aneh jika kepribadian mereka pun sangat bertolak belakang. Peter berasal dari ‘middle-class society’ (satu kelas sosial ‘favorit’ di Amerika) sedangkan Jerry dari kelas ‘poor white trash’. Peter yang well-educated, dari cara dia berbicara, dan Jerry yang not-educated, dari cara dia memprovokasi Peter, agar kehilangan kontrol emosinya.
Mengenai akhir cerita, tak satupun dari mahasiswaku yang ‘mengharapkan’ THE ZOO STORY akan berakhir setragis itu, Jerry mati, bunuh diri, menggunakan pisau yang dia bawa sendiri, meskipun pada waktu itu, pisau berada di tangan Peter.
LL TBL 11.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar