RUSMI INGIN PULANG adalah judul kumpulan cerpen tulisan penulis yang tak asing lagi di belantara sastrawan di Nusantara, Ahmad Tohari. Ada lima buah cerpen yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam buku ini; yakni “Rusmi Ingin Pulang”, “Nyanyian Malam”, “Si Minem Beranak Bayi”, “Blokeng”, dan “Bulan Kuning Sudah Tenggelam” yang panjangnya bisa dikategorikan novela.
Seolah ingin menegaskan kepiawaiannya dalam tema yang membuatnya sebagai seorang sastrawan yang cukup disegani dengan triloginya yang berjudul RONGGENG DUKUH PARUK, LINTANG KEMUKUS DINI HARI, dan JANTERA BIANGLALA, dalam kelima cerpen ini pun Ahmad Tohari bermain-main dengan permasalahan yang biasa menimpa kaum perempuan yang hidup di pedesaan. Kelima cerpen yang termaktub dalam kumpulan cerpen ini semua bertutur tentang perempuan desa dengan segala permasalahannya, sebagai tokoh utama.
Dalam “Rusmi Ingin Pulang”, Tohari terlihat ingin menyentil keberadaan kaum agamawan dan tokoh masyarakat yang bukannya ikut tergerak untuk melindungi kaum yang termajinalkan (seorang perempuan yang menjadi janda karena ditinggal mati suaminya). Mereka hanya berdiam diri saja melihat para penduduk desa memojokkan sang janda, Rusmi, yang menjalani kehidupan yang sulit semenjak sang suami yang menjadi sandaran hidupnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, sehingga dia harus pergi meninggalkan desa kelahirannya tersebut.
Dalam “Nyanyian Malam”, Tohari bercerita tentang seorang perempuan dengan tipe yang tak jauh beda dari cerpen yang pertama. Dengan cara “menghidupkan kembali aib lama dusun dimana dia tinggal”, Jebris, seorang janda beranak satu, meneruskan kehidupannya setelah diceraikan oleh suaminya, sebagai seorang pelacur. Sebuah surau yang dibangun tak jauh dari rumah Jebris, untuk menghapus aib lama, tak mempan memberi penerangan di hati Jebris. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap hidup seorang janda yang tak memiliki pendidikan formal apa-apa, juga kemampuan menciptakan lapangan kerja?
Dalam “Si Minem Beranak Bayi”, Tohari memilih tema yang sedikit berbeda: keluguan orang-orang desa yang berpikir bahwa tugas orang tua akan berakhir setelah menikahkan anaknya, meskipun si anak masih berusia belasan tahun. Kebanggaan bahwa “anak-anaknya laris manis” lebih penting baginya daripada membekali anak-anaknya dengan pendidikan yang cukup, agar memperoleh penghidupan yang lebih layak dari orang tuanya. Bahkan tatkala sang anak, dalam usia yang masih sangat muda, empat belas tahun, melahirkan bayi prematur, sehingga membuat hidupnya seperti di ujung tanduk, karena tidak mendapatkan pertolongan medis yang memadai, tidak cukup membuatnya menjadi risau.
Cerpen keempat yang berjudul “Blokeng” memiliki sentilan sosial yang amat kuat. Ketika ada seorang perempuan idiot, tak memiliki sanak keluarga, bertahan hidup dengan cara mengais sampah di pasar, tinggal di sebuah gubuk tanpa perabot, tanpa lampu, siapakah yang akan mau bertanggung jawab jika tiba-tiba perempuan ini hamil? Orang-orang yang merasa dirinya jauh lebih terhormat dibandingkan Blokeng, si perempuan idiot ini, ternyata justru jauh lebih tak bermartabat. Blokeng dengan serta merta mengatakan bahwa bukan Lurah Hadining lah yang menghamilinya, ketika sang tokoh masyarakat ini dengan bijak mengatakan kepada warganya bahwa dia akan bertanggung jawab terhadap bayi yang dilahirkan, untuk menghentikan kesaling-curigaan, saling tuduh menuduh, dan untuk menghentikan keresahan yang menimpa desa tempat tinggal mereka. Bagaimana Blokeng tahu bahwa bukan Lurah Hadining yang menghamilinya, sedangkan gubuknya dalam keadaan gelap gulita, tatkala seorang laki-laki datang malam-malam, menidurinya? Dan bagaimana pula reaksi warga mendengarkan kesaksian Blokeng?
“Bulan Kuning Sudah Tenggelam” (BKST) lebih tepat disebut novela dibandingkan cerita pendek dari segi panjang cerita, sekaligus tema sentral cerita yang bercabang. Dibandingkan “Blokeng” yang pendek namun sangat kuat penokohan sang tokoh utama, “BKST” menurutku sangat kedodoran, dan terlalu bertele-tele dalam mengemukakan konflik batin sang ‘aku’, seorang perempuan bernama Yuning. Satu hal yang kurang tereksplorasi dengan utuh adalah konflik antara Yuning dengan suaminya. Di awal cerita Tohari menceritakan Yuning yang keukeuh untuk tetap memilih hidup bersama suaminya, dibandingkan dengan kedua orang tuanya yang telah renta. Sayangnya setelah sang ayah meninggal dunia, Tohari tidak mengeksplorasikan bagaimana perasaan sang suami, Koswara, setelah mertua laki-lakinya meninggal karena kepongahan Koswara. Novela ini akan menjadi ‘lengkap’ jika ada bagian percakapan antara Yuning dengan Koswara, setelah ayahnya meninggal dunia, untuk mengungkapkan bagaimana perasaan Koswara, sehingga rasa bersalah itu tidak hanya menghinggapi seorang Yuning, namun juga dibagikan kepada sang suami yang tentu juga ikut andil dalam ‘membunuh’ sang mertua. Sayangnya Tohari terlalu asyik ‘bermain-main’ dengan tokoh Yuning. Kehadiran tokoh yang bernama Sabina Salahudin di akhir cerita terasa sangat dipaksakan. Cerita sudah akan menjadi sangat menarik jika Tohari tetap berkutat di konflik utama, Yuning, sang anak angkat dari seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani, yang memilih menikahi seorang insinyur pertenakan yang miskin.
RUSMI INGIN PULANG diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Matahari, Jogjakarta, pada tahun 2004.
PT56 15.23 240608
Tidak ada komentar:
Posting Komentar