Searching

Kamis, 24 September 2009

Perempuan Gila

PEREMPUAN GILA: TEMA DALAM KARYA SASTRA
YANG TAK LEKANG OLEH ZAMAN


Pengantar

Bahwa kesustraan memiliki nilai global diamini oleh para kritikus sastra. Pandangan bahwa kesustraan memiliki tema-tema yang ‘everlasting’ dan cenderung berulang di abad-abad selanjutnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Virginia Woolf “Books continue eeeach other”. Tidak penting apakah karya sastra tersebut dihasilkan di belahan bumi Barat maupun Timur, di abad terdahulu maupun abad terkini.

Tulisan ini akan membandingkan dua cerita pendek yang dihasilkan oleh dua penulis perempuan yang hidup di belahan bumi yang berbeda dan abad yang berbeda pula. Cerita pendek yang pertama berjudul “The Yellow Wallpaper” ditulis oleh Charlotte Perkins Gilman, seorang pejuang kesetaraan jender pada zamannya, di tahun 1892 Amerika. Cerita pendek yang kedua berjudul “Jaring Laba-Laba” ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim, seorang cerpenis yang produktif. “Jaring Laba-Laba” termasuk dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004.


 


Sekilas tentang “The Yellow Wallpaper” dan “Jaring Laba-Laba” dan pengarangnya

Banyak kritikus mengatakan bahwa “The Yellow Wallpaper” ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Charlotte Perkins Gilman. Gilman menulis cerpen ini sekitar tahun 1890-1892, pada masa-masa paling sulit dalam hidupnya setelah mengalami serangkaian ‘nervous breakdown’ dan akhirnya demi menyembuhkan diri sendiri, Gilman mengambil jalan yang dianggap sangat kontroversial pada abad tersebut: berpisah dengan suaminya, bepergian ke seluruh penjuru Amerika untuk memberikan ceramah tentang kesetaraan jender dan pentingnya kemandirian finansial bagi kaum perempuan, serta menulis.

“The Yellow Wallpaper” merupakan salah satu media yang ingin dia sampaikan ke publik bahwa bagi perempuan seperti dia, kebebasan berkreasi—misal dalam hal menulis—dan mengungkapkan stimulasi intelektual jauh lebih penting daripada mengerjakan tugas-tugas domestik sebagai seorang ‘ibu rumah tangga’ yang konvensional. Menulis merupakan proses penyembuhan penyakit psikologis yang diderita oleh seorang perempuan karena menulis adalah ‘a healing process of catharsis’.

Ratna Indraswari Ibrahim seorang cerpenis yang berdomisili di Malang. Dia telah menghasilkan ratusan cerpen yang dicetak di banyak media, seperti surat kabar dan majalah, dimana banyak dari cerpen tersebut kemudian dipublikasikan kembali dalam bentuk kumpulan cerpen. Banyak cerpen yang dia tulis bercerita tentang pengalaman perempuan dan banyak pula yang ditulis menggunakan sudut pandang feminis.

“Jaring Laba-Laba” berkisah tentang seorang perempuan yang akhirnya terjerumus ke rumah sakit jiwa setelah perjalanan hidupnya menggiringnya menjadi seorang ibu rumah tangga yang melulu hanya mengabdikan hidup untuk suami dan anaknya, tanpa memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi intelektualitasnya yang cukup tinggi.

Kedua cerpen ini memiliki ending yang kontradiktif, dalam “The Yellow Wallpaper” sang narator tak bernama ini berhasil melepaskan dirinya dari penjara wallpaper dengan mencabik-cabiknya, sedangkan Dina, tokoh perempuan dalam “Jaring Laba-Laba” membiarkan dirinya terperangkap dalam jaring laba-laba. Wallpaper dan jaring laba-laba ini merupakan analogi kultur patriarki dimana kedua tokoh perempuan ini hidup.

Tema “Woman Madness” dalam “The Yellow Wallpaper”

“Madness” alias kegilaan merupakan tema yang selalu diulang-ulang ditulis dalam karya sastra sejak penulisan drama tragedi zaman Yunani Kuno. Namun pada abad kesembilan belas dan duapuluh, tema ini lebih difokuskan pada kehidupan kaum perempuan. Perempuan gila yang digambarkan dalam novel Jane Eyre karangan Charlotte Bronte, Mrs Dalloway karangan Virginia Woolf dan The Bell karangan Sylvia Plath memiliki karakter yang sama: sesosok figur yang penuh kemarahan yang tidak memiliki kemampuan untuk menekan penderitaannya dan mengungkapkannya dalam suatu hal yang bisa dipahami oleh masyarakat.

Menyikapi tema ini, Phyllis Chesler dalam bukunya Women and Madness menyatakan bahwa “because the mental health system is patriarchal, women are often falsely labelled as being "mad" if they do not conform to stereotypical feminine roles”. Perempuan sering dianggap gila tatkala mereka tidak mengikuti konsensus kultur patriarki tentang perempuan “sejati” sistem kesehatan mental itu sendiri bersifat patriarki. Kacamata patriarki merupakan satu-satunya yang dipakai dalam memandang kesehatan mental perempuan.

Tema utama dalam buku Phyllis Chesler ini sangat tepat dipakai untuk membidik apa yang terjadi kepada sang narator tanpa nama dalam “The Yellow Wallpaper” maupun Dina, tokoh perempuan dalam “Jaring Laba-Laba”. Sang narator tanpa nama ‘diistirahatkan’ dalam sebuah rumah yang terletak jauh dari masyarakat oleh suaminya yang dokter tatkala dia ‘gagal ‘ melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dari anak yang baru saja dia lahirkan. 

 
Perempuan tanpa nama ini dikisahkan sebagai seorang perempuan yang lebih memilih menulis untuk mengungkapkan sisi intelektualnya. Hal ini dipandang sangat tidak lazim pada abad tersebut sehingga bisa dipahami jika dia pun dianggap gila oleh suami dan keluarganya yang lain. Untuk ‘menyembuhkan’nya, dia pun ‘dipenjara’ dalam rumah peristirahatan dimana dia tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa pun kecuali suami dan saudara perempuannya yang bertugas mengasuh bayinya serta mengawasi sang narator tanpa nama agar dia tidak lagi melakukan kegiatan yang konon membuatnya kehilangan akal sehatnya: menulis.

Charlotte Perkins Gilman sengaja tidak memberi nama tokoh utama dalam cerpen ini untuk mengungkapkan betapa tidak pentingnya tokoh satu ini sehingga dia tidak layak memiliki nama; tidak layak memilik sebuah identitas pribadi selain sebagai ‘istri si fulan’ atau pun ‘ibu si fulan’.
“The cult of true womanhood” saat itu masih sangat kental melingkupi kultur patriarki Amerika. Perempuan sejati haruslah mengikuti empat prinsip utama: piety (kerelijiusan), purity (kesucian), submission (kepatuhan), dan domesticity (domestikasi). Sang narator tanpa nama jelaslah telah melanggar empat prinsip utama ini. Dia dianggap tidak relijius karena tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh suaminya, seorang laki-laki (maskulin) yang pada tingkat tertentu dianggap memiliki kuasa di hadapan istrinya (feminin), seperti Jesus (maskulin) atas umat-Nya (feminin). Hal ini berkaitan erat dengan prinsip ketiga, yakni submission, dia tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh suaminya: lebih memilih menulis padahal sang suami telah melarangnya melakukan kegiatan yang berhubungan dengan intelektualitas. Sang narator tanpa nama juga telah melanggar prinsip kedua, purity. Dia membiarkan otaknya tidak pure alias suci karena memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dia pikirkan. Prinsip keempat—domesticity—merupakan satu hal yang terlihat dengan mata telanjang, titik kulminasi prinsip perempuan sejati yang telah dia langgar: dia lebih memilih menulis daripada melakukan tugas-tugas domestik kerumahtanggaan: mengurus rumah, suami, dan anak. ‘Dosa besar’ yang dia ungkapkan dalam kegiatan menulisnya adalah dia ingin membagi keresahan hatinya dengan para perempuan lain, ‘meracuni’ perempuan lain untuk setuju dengan cara berpikirnya: mengejar sisi intelektualnya dengan menulis lebih ‘fulfilling’ ketimbang melakukan pekerjaan rumah tangga.

Tema “Woman Madness” dalam “Jaring Laba-Laba”

Cerpen “Jaring Laba-Laba” menggambarkan perjalanan psikologis Dina dari seorang perempuan yang di awal cerita merupakan seorang perempuan yang mengejar kepuasan intelektual untuk mengisi hidupnya (dengan kuliah S2 di mancanegara), dan setelah menikah terpaksa meninggalkan sisi intelektualnya demi melakukan pekerjaan rumah tangga, sebagai istri dan ibu. 

 
Konstruksi kultur patriarki disuarakan oleh ibu sejak Dina masih kecil—dia harus menjaga kamarnya bersih dari sarang laba-laba karena dia perempuan, sedangkan kakaknya yang laki-laki boleh saja jika memiliki kamar yang kotor karena dia laki-laki. Konstruksi ini diteruskan oleh Bram, suaminya, setelah mereka kembali ke Indonesia. Mengacu ke penggambaran tokoh perempuan gila yang di abad kesembilan belas dan dua puluh sebagai perempuan histeris yang penuh kemarahan dan kesedihan dan tak mampu menemukan cara untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dalam hati untuk dipahami oleh masyarakat (dalam hal ini oleh Bram, anaknya, beserta tokoh ibu), akhirnya Dina pun ‘dipenjarakan’ di rumah sakit jiwa.

“The cult of true womanhood” yang sangat dominan mempengaruhi kultur patriarki Amerika pada abad sembilan belas sampai awal abad dua puluh masih terlihat jelas pada cerpen “Jaring Laba-Laba” yang ditulis di awal abad dua puluh satu Indonesia. Tokoh Dina tunduk (submission)) pada apa yang dikatakan oleh ibu dan suaminya untuk menjadi makhluk domestik (domesticity), namun dia sendiri merasa terpenjara di dalamnya. Karena patriarki merupakan satu-satunya kultur yang dianggap benar, Dina pun tak kuasa untuk menyuarakan kata hatinya. 

 
Tokoh Bram setali tiga uang dengan John, suami sang narator tanpa nama dalam “The Yellow Wallpaper” yang merasa dirinya telah menjadi suami yang baik. “Saya tidak tahu mengapa kau depresi? Apakah saya suami yang tidak baik? Saya tidak berselingkuh dengan siapa pun, sebisa-bisanya, saya ingin menjadi suami dan bapak yang baik.” Jika Bram memasukkan Dina ke rumah sakit jiwa, John mengisolasi istrinya di dalam sebuah rumah peristirahatan yang jauh dari mana pun.

Seperti yang ditulis pada bagian awal, ending cerita kedua cerpen ini agak kontradiktif. Dalam “The Yellow Wallpaper” sang narator dikisahkan ‘berhasil’ keluar dari wallpaper yang memenjarakannya. Para kritikus sastra memandang hal ini dari dua kacamata yang berbeda, sebagian berpendapat bahwa akhirnya sang narator benar-benar menjadi gila karena dia dikisahkan merangkak di seluruh penjuru kamarnya dimana wallpapernya telah berhasil dia cabik-cabik. Dia kunci pintu kamarnya dan membuang kuncinya sehingga John tidak berhasil masuk kamar untuk melihat apa yang terjadi kepada istrinya. Sebagian kritikus lain berpendapat bahwa akhirnya sang narator berhasil melepaskan diri dari kungkungan kultur patriarki yang disimbolkan oleh ‘wallpaper’ karena sang perempuan yang dilihat oleh sang narator berada di balik wallpaper telah berhasil keluar setelah wallpaper tersebut dicabik-cabik. 

 
Di akhir cerita “Jaring Laba-Laba” dikisahkan Bram dan anaknya menjemput Dina dari rumah sakit karena dokter menyatakan dia telah sembuh dan bisa kembali ke keluarganya. Pernyataan ‘sembuh’ dari dokter justru membuat Dina khawatir karena dia tak lagi bisa melihat jaring laba-laba yang disebabkan oleh rasa ‘cinta’ suami dan anaknya dalam bentuk pemaksaan mengerjakan tugas domestik rumah tangga. Oleh karena itu, tatkala dilihatnya Bram dan anaknya datang menjemputnya, Dina lebih memilih berlari menjauh. Hal ini bisa diintepretasikan bahwa Dina dengan sadar lebih memilih untuk tidak tunduk pada konstruksi kultur patriarki. Kembali ke rumah untuk menjadi istri dan ibu yang baik menurut kacamata patriarki akan membuat Dina kehilangan akal sehatnya lagi.

Kesimpulan

Kemiripan kisah dua cerpen ini membuat keduanya bisa dianggap sebagai karya sastra yang memiliki tema yang universal: woman madness alias perempuan gila. Perbedaan abad saat penulisan kedua cerpen tersebut menunjukkan bahwa bahkan di abad kedua puluh satu ini, dengan paham feminisme alias kesetaraan jender yang telah meluas ke seluruh penjuru dunia selama beberapa dekade ternyata tidak menunjukkan banyak perubahan pada sisi kehidupan perempuan. Masih ada kalangan masyarakat yang kultur patriarkinya sangat kental dan perempuan pun menjadi korban yang tidak akan pernah bisa dipahami.

PT56 10.25 220909

Minggu, 06 September 2009

Dua Wanita Cantik


Ini adalah judul sebuah cerpen karangan Jujur Prananto yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Cerpen ini langsung menarikku untuk membacanya—dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain karena ditilik dari judulnya, cerpen ini akan bercerita tentang perempuan. Apa yang ditulis oleh seorang laki-laki tentang perempuan? Mengapa kata ‘cantik’ perlu ditulis dalam judulnya?


Para ‘pejuang’ feminis lebih suka menggunakan istilah ‘perempuan’ daripada ‘wanita’. Singkat cerita, kata ‘wanita’ menurut “Old Javanese English Dictionary” (Zoetmulder, 1982) berarti “yang diinginkan”. Dalam kultur heteroseksual, yang menginginkan wanita tentu saja pria. Wanita akan merasa ‘penting’ jika dia diinginkan oleh pria. Dalam hal ini tentu saja kata ‘wanita’ memiliki sifat ‘diobjekkan’. Sedangkan kata ‘perempuan’ berasal dari kata dasar ‘empu’ yang berarti ‘yang mahir’. Hal ini berarti kata ‘perempuan’ memiliki sifat sebagai subjek.


Itu sebabnya, LSM ataupun organisasi perempuan lebih suka menggunakan kata ‘perempuan’ daripada kata ‘wanita. Contoh: LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak) Jogjakarta, dll. Para ‘pejuang’ perempuan tentu ingin perempuan menjadi subjek, menjadi penentu bagaimana dia akan mengambil langkah dalam hidupnya, terlepas dari konsensus yang ada dalam masyarakat patriarki.


Dua perempuan cantik dalam cerita tersebut ternyata seorang ibu dan anak remajanya. Dikisahkan keduanya sama-sama cantik dan mereka berdua sama-sama menikmati kecantikan mereka sehingga mereka pun ‘tergelincir’ melakukan kesalahan yang sama, yang melulu dikarenakan kecantikan fisik mereka. 


Jika kukaji dari pemilihan kata ‘wanita’ sebagai judul, dan bukannya ‘perempuan’, bisa dipahami jika kedua perempuan tersebut terlena tatkala mereka menyadari bahwa mereka ‘diinginkan’ oleh pria; tidak mereka gunakan akal sehat mereka sehingga gampang saja diiming-imingi oleh harta. Kalau menggunakan kata ‘perempuan’, sebagai seorang ‘empu’, tidak selayaknya perempuan mudah dibohongi. 


Hal ini membuatku bertanya-tanya:


Sedemikian rendahkah laki-laki memandang perempuan yang ‘hanya’ memiliki kecantikan fisik? Kalau memiliki kecerdasan, kayaknya ga mungkin kalau sampai terpedaya.


Ataukah memang para perempuan itu ‘sedemikian rendah’ sehingga para laki-laki pun berpandangan seperti itu? Sebagai perempuan yang tidak termasuk kategori ini aku tidak pernah bisa mengerti mengapa sebagian perempuan berpikiran seperti ini. 


Perjuangan kaum feminis untuk membuat para perempuan percaya diri, dan bangkit untuk tidak melulu menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki (terutama dalam hal financial) masih membutuhkan waktu lamaaaaaaaaaa. 


Now I want to comment the mother-daughter relationship.


Kekagetan sang Ibu tatkala menemukan lipstick di laci meja belajar sang anak menunjukkan ketidakterbukaan antara ibu dan anak ini. 


Kaget, karena sang ibulah yang selama ini membelikan segala kebutuhan sang anak. Bagaimana mungkin sang anak yang baru berusia 16 tahun bisa memiliki lipstick, satu benda yang menurut sang ibu belum dia perlukan. Lagipula darimana sang anak memiliki uang lebih untuk membelinya?
Apa yang terjadi selanjutnya—seperti yang dikisahkan oleh sang pengarang—menunjukkan keterlambatan sang ibu untuk ‘menyelamatkan’ sang anak agar tidak mengambil langkah ‘keliru’ yang pernah diambilnya dulu. Mengapa terlambat? Karena sang anak telah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan sang ibu dulu, tentu tanpa sepengetahuannya. 


Like mother like daughter.


Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, padahal sang ibu telah menutup rapat-rapat masa lalunya; padahal sang ibu telah memilih jalan ‘taubat’ dengan menutup rapat auratnya, yang berkonotasi dia tak lagi ingin ‘memanfaatkan kecantikan fisiknya’ untuk bertahan hidup, karena pengalaman hidup telah memberikan pelajaran yang berharga untuknya. Darimana cara sang anak meniru masa lalu sang ibu? Atau paling tidak memiliki cara berpikir yang sama dengan sang ibu? Anak perempuan selalu memiliki cara berpikir yang sama dengan sang itu?


Orang bijak bilang bahwa serapat-rapatnya kita menutup bangkai masa lalu, satu saat akan tercium juga. Ini sebabnya aku jauh lebih suka cara Lorelai Gilmore—dalam serial Gilmore Girls—memberitahukan kesalahan besar yang dia lakukan di masa lalu kepada anaknya, agar sang anak tidak melakukan kesalahan yang sama. Lorelai menunjukkan alasan kepada Rorie mengapa dia sampai terjerumus melakukan kesalahan besar itu—cara mendidik sang ibu yang over protective sehingga membuat Lorelai merasa hidup dalam penjara. Oleh karena itu, cara Lorelai membesarkan dan mendidik Rorie menggunakan cara yang bertolak belakang. Hubungan Lorelai dan Rorie jauh lebih menyerupai hubungan two bestfriends, instead of mother-daughter dimana sang ibu seolah memiliki policy ‘mother can do no wrong’ atau ‘you’ve got to do what I told you to do because I am older and more experienced so I know more things than you’.
Tentu tidak ada ilustrasi latar belakang Yustin—sang ibu dalam cerpen “Dua Wanita Cantik”—yang membuatku mengerti mengapa dia mengambil langkah menutupi masa lalunya dari Meta—sang anak. Namun, mengingat budaya orang Indonesia memang seperti ini—menutupi masa lalu dengan harapan bahwa anak-anak tidak akan mengetahui kesalahan besar dan agar anak-anak tidak meniru—bisa jadi memiliki orang tua yang biasa-biasa saja. Kesalahan melulu ada di pundak Yustin yang begitu menikmati kecantikan fisik yang dia miliki di masa remaja, yang membawanya ke sebuah kehidupan yang akhirnya hanya memberinya kepahitan hidup. 


Apa yang akan dilakukan oleh Yustin setelah mengetahui bahwa Meta telah terjerumus melakukan kesalahan yang sama dengan apa yang dulu dia lakukan?


PT56 14.14 060909

Sabtu, 28 Februari 2009

"Young Goodman Brown" versus "Where Are You Going? Where Have You Been?"


 

COMPARISON BETWEEN “YOUNG GOODMAN BROWN”

AND “WHERE ARE YOU GOING? WHERE HAVE YOU BEEN?”

By Nana Podungge

This paper will compare Nathaniel Hawthorne’s “Young Goodman Brown” and Joyce Carol Oates’ “Where are you going? Where have you been?” Hawthorne’s story belongs to the Romantic Period while Oates’ belongs to the Postmodern Period. First, I will analyze the story one by one. After that, I will elaborate the similarities and the differences I found in the two stories.

In “Young Goodman Brown”, the main character—Brown—left his wife whom he married just for three months, to do an “errand” to the forest. There, he met a so-called fifty-year-old man who took him to a certain place in the forest where there would be an ‘ordination’ and Brown would be ordained to be one of the members of the man’s congregation. Brown—the descendant of “a race of honest men and good Christians” (Baym, 1989: 1112)—in fact felt insecure to follow that old man, because he thought that the congregation in the forest were the followers of the devil. He regarded the old man whom he first met in the forest as the devil. Nevertheless, he did not go back to his village. Instead, he continued following the old man. His curiosity about what he would find in the forest is bigger than his feeling insecure to follow the devil.

Besides feeling insecure, Brown also felt sinful because following the devil in a dangerous place. it is understandable because he considered forests a place where devils and satans meet each other. Therefore, Brown was shocked when he found Goody Cloyse, a very pious woman in his village who taught him his catechism. Feeling worried that Goody Cloyse would see him following the devil in the forest (he was worried that the pious woman would consider him as a devil follower, and not a pious man any longer), Brown tried to hide. He felt more shocked when he also found other pious people from his village in the same forest where he was; such as the minister and Deacon Gookin. Those people were going into the same direction with him. Brown’s feelings—insecure, guilty, sinful, and also curious—were mixed together, and he asked himself what those pious people were doing in the place full of devils.

Going farther into the forest, Brown met more people—one of them was Faith, his wife whom he left at home and who objected to his going to the forest. Not only pious and honorable people did Brown see there, he also saw “men of dissolute lives and women of spotted fame, wretches, given over to all mean and filthy vice, suspected even of horrid crimes” (Baym, 1989: 1117). Those good and bad people were in the same place to attend the ordination. The congregation would ordain Brown and Faith to be the members. However, before they were ordained—Brown tried not to follow the order of the leader of the ordination ceremony, and tried to oppose it, suddenly everything was gone. “Hardly had he spoken, when he found himself amid calm night and solitude” (Baym, 1989: 1119).

Even though the story was written in the Romantic period, Hawthorne chose the setting in the Puritan era. He wanted to criticize Puritan people’s way of thinking that in this world there are only two kinds of people, good people who are perfectly pious, and bad people who are perfectly sinners. People must fall into one of the two categories. Through the main character, Brown, Hawthorne showed the confusion inside a young man about the two categories of people. How could pious people socialize with bad ones and they gathered in one place which was considered devilish—the forest. In the Puritan era, people considered the forest a dangerous place because it was full of devils and satans.

I conclude that Hawthorne wanted to convey a message that the Puritan philosophy about the two categories of people is wrong. No one is perfectly pious, nor is a perfect sinner. People have both good and bad sides in them. It is just natural for someone who is considered pious to do something bad. A wicked criminal can also have good side in him/her. Therefore, Hawthorne ended the story by describing Brown—an example of a puritan man who thought that someone must be either perfectly pious or perfect sinner—underwent unhappy life and lived restlessly until the end of his life because he could not understand what he found in one episode of his life.

In “Where are you going? Where have you been?” which was written in 1966, Oates tells a story of a fifteen-year-old girl named Connie. Though Connie did not really seem to feel happy at home—she always had problems with her mother who always compared her with her older sister, June, Connie seemed to enjoy her life outside home. Her parents let her go with her girl friends to a shopping plaza which was located three miles away from her house. There, Connie and her friends walked through the stores and went to a movie. Some other time, they went to a drive-in restaurant. Some other time again, Connie was riding in a car with a boy.

So did Connie’s life go on. At home, she had to confront her mother whom she thought had a jealous feeling toward her because of her good look—her mother used to be good-looking too but now it has gone. Besides, being always compared with her elder sister, Connie might suffer from “second child syndrome”. June did this, June did that, she saved money and helped clean the house and cooked and Connie couldn’t do a thing (p. 226). Outside home, Connie enjoyed her life with her friends.

Connie’s life changed when one Sunday, she was left alone at home—her parents and sister went to a barbeque at an aunt’s house. Two boys—strangers—went to her house and asked her to go for a ride with them. For Connie, they were strangers. For the two boys—especially one of them named Arnold Friend—Connie was not a stranger. Actually Connie has met Arnold one night in town when she was in Eddie’s car. “… and just at that moment she happened to glance at a face just a few feet from hers. It was a boy with shaggy black hair, in a convertible jalopy painted gold. He stared at her and then his lips widened into a grin.” (p. 228) However, Connie did not remember that. While Arnold always remembered that event, and tried to find out about anything related to Connie since then. No wonder, Arnold came at the “right time” when Connie was left alone at home.

Arnold at first persuaded Connie somewhat politely. He assured her that he was a friend who just wanted to take her for a ride. I believe that Arnold regarded Connie as a girl who liked going for a ride in a boy’s car when he saw her in Eddie’s, a kind of “cheap” girl who easily got flattered by a boy’s smooth talk. However, Arnold was wrong. In fact, Connie was “a hard girl to handle”. She even asked him and Ellie—Arnold’s friend to go away. It made Arnold angry.

Arnold kept forcing Connie to go with him. He showed Connie his “supra natural” ability to see something which happens in another place. “Right now they’re—uh—they’re drinking. Sitting around,” he said vaguely, squinting as if he were staring all the way to town and over to Aunt Tillie’s backyard. Then the vision seemed to get clear and he nodded energetically. “Yeah. Sitting around. There’s your sister in a blue dress, huh? And high heels, the poor sad bitch—nothing like you, sweetheart! And your mother’s helping some fat woman with the corn, they’re cleaning the corn—husking the corn—“ (p. 234) After that, he started to harass her sexually. “I’ll tell you how it is, I’m always nice at first, the first time. I’ll hold you so tight you won’t think you have to try to get away or pretend anything because you’ll know you can’t. And I’ll come inside you where it’s all secret and you’ll give in to me and you’ll love me—“ (p. 234)

With his “supra natural” ability and sexual harassment, Arnold even made Connie more scared of him. Moreover, feeling frustrated because his “victim” did not give in easily, then he threatened to burn Connie’s house. “If the place got lit up with fire honey, you’d come runnin’ out into my arms, right into my arms…” (p. 235). After that, he threatened to kill Connie’s family; “You don’t want your people in any trouble, do you?” (p. 237)

Feeling very scared, Connie tried to call the police. I think something wrong with the telephone made Connie sort of subconscious. “… she ran into the back room and picked up the telephone. Something roared in her ear, a tiny roaring, and she was so sick with fear that she could nothing but listen to it—“ (p. 237) To some extent, Connie was “split” into two. Her conscience told her not to follow Arnold, but her “sound” mind feeling scared forced her to follow him. Her spirit was expelled out of her body. This body without soul then followed Arnold. “She watched herself push the door slowly open as if she were safe back somewhere in the other doorway. Watching this body and this head of long hair moving out into the sunlight where Arnold Friend waited.” (p. 239)

When I come to the end of the two stories—“Young Goodman Brown” and “Where are you going? Where have you been?”—they have the same unhappy ending. In the first, when the main character died, “his tombstone was not carved with hopeful verse, for his dying was gloom.” While in the latter, Connie’s spirit saw her body following her seducer. Besides, I conclude that the two stories are mysterious. In “Young Goodman Brown”, Brown went to the forest and then saw many people there but suddenly they disappeared. Some critics said that it was just the “dream vision” of Brown. In “Where are you going? Where have you been?” Connie underwent separation of her soul and body. In addition, the two main characters underwent the initiation into evil.

Now I want to elaborate the differences between the two stories. The most striking contrast is that Hawthorne’s story is religious—portraying the Puritan era where people mostly viewed life from religious point of view; while Oates’ story is secular—“none of them bothered with church” (p. 229). Hawthorne mentioned terms related to religion; such as ordination, catechism, minister, etc. Oates describes mundane things; such as going to a shopping plaza, listening to music from the radio, watching movies, etc. This is related to the background of the writers. Hawthorne was born as one descendant of Puritan immigrants, but he himself did not like the teachings of Puritanism which he considered hypocrite. Therefore, he criticized that in “Young Goodman Brown”. Oates was born in 1938. The twentieth century, so that she portrayed the life of adolescent girls that she saw in the early 1960s in her story. Besides, the decade of 1960s marked as music worship by youngsters, a kind of worship somewhat like a spiritual one.

Related to the background of the writers, therefore, the stories used very different language. In the Romantic period, the literary work was produced only for people from middle-high social status who were educated and had money to buy it, so that the use of language in “Young Goodman Brown” was especially for the educated middle-high society. It is difficult to understand because it is full of symbols, metaphors. Starting the end of the nineteenth century with the emergence f many people who had a lot of money who would buy literary works such as novels, but they were in fact not from high society—not really educated either—writers started to write pop fiction only to earn money. Since the target market was less educated people, the use of language was simplified.

Another difference is the main character in “Young Goodman Brown” a man; while Connie, a girl, is the main character of “Where are you going? Where have you been?” It is again closely related to the writers. Hawthorne—as a man—would know conflicts faced by men better than conflicts faced by women. Oates—as a woman—would understand better how a girl feels toward her mother, girl friends, and also how o feel against a seducer and face a threat of rape.

The setting of “Young Goodman Brown” is night and in the forest—something mysterious; while in “Where are you going? Where have you been?” the setting is various, sometimes evening in a shopping plaza where Connie hung around with her friends, and Arnold seduced Connie in the afternoon at her house. To undergo his ‘journey’, Brown left his wife at home and went out of the home to go to the forest; while Connie experience scary event when she was left alone at home.

To sum up, the two stories which were written in two different eras have two similarities in the unhappy ending and they are mysterious stories. They have some differences; in the theme—religious versus secular; the use of language; the main character of the stories—man versus girl; and the setting—night versus afternoon-evening; forest versus shopping plaza and home.


A final project for America’s Cultural Eras Class in 2003


Sabtu, 07 Februari 2009

Andrea Hirata

Beberapa hari yang lalu, di sebuah milis yang kuikuti ada perbincangan tentang dunia tulis menulis. Ngobrol ngalor ngidul akhirnya nama Andrea pun tersentil. Salah seorang anggota milis yang lebih banyak tinggal di daratan Eropa sana menulis pertanyaan retorik apakah Andrea terkenal karena dia lulusan Universitas Sorbonne.
I swear I am not really a fan of Andrea Hirata meski harus kuakui aku mengangkat topi tinggi-tinggi buatnya, seorang Ikal kecil dekil, berasal dari sebuah desa terpencil dan miskin, yang mampu mewujudkan impiannya untuk menembus bangku perkuliahan, bahkan setelah lulus dari Universitas Indonesia dia melanjutkan ke universitas bergengsi dunia, Universitas Sorbonne. Dan berhubung membaca adalah salah satu hobbyku, maka tak heran bukan kalau aku pun membaca keempat novel tetralogi LASKAR PELANGI itu.
Aku tidak begitu banyak mengikuti berita-berita tentang Andrea karena bagiku kehidupan pribadinya tidak menarik kuikuti, yang aku sukai adalah keempat bukunya, dari LASKAR PELANGI, SANG PEMIMPI, EDENSOR, dan MARYAMAH KARPOV.
Dengan sekedar iseng, aku menulis komentar atas pertanyaan retorik yang kutulis di atas, "Apakah Andrea Hirata terkenal karena dia lulusan Universitas Sorbonne?" Dari beberapa kritik sastra yang kubaca tentang LASKAR PELANGI, novel ini terkenal karena para pembaca sedang terkena penyakit BOSAN dengan tema-tema novel yang ada. (Contoh: Keterkenalan novel 'Ayat-ayat Cinta' membuat orang-orang pun menulis novel-novel dengan tema yang mirip-mirip. Senada dengan saat terkenalnya seorang Ayu Utami karena dwilogi SAMAN dan LARUNG nya. Karena banyak orang menuding seksualitas yang diusung oleh Ayu sebagai pendongkrak popularitas kedua novel ini, banyak orang kemudian beramai-ramai menulis novel yang banyak dibumbui oleh seks, tanpa tema yang khusus mengapa seks diilustrasikan dalam novel-novel mereka. Ayu Utami berbeda karena dalam kedua novel itu dia ingin mendobrak ketabuan bahwa perempuan dilarang berbicara tentang seks, dan kritik tentang virginitas yang wajib dimiliki semua perempuan tatkala memasuki
gerbang perkawinan.)
Aku menulis bahwa Andrea terkenal bukan karena dia lulusan Sorbonne, melainkan karena cerita yang ditulis oleh Andrea dalam LASKAR PELANGI benar-benar memikat pembaca, tema yang berusaha untuk membangkitkan semangat para pelajar untuk rajin berangkat ke sekolah, karena para anggota 'laskar pelangi' yang berasal dari desa terpencil dan miskin itu selalu penuh semangat untuk berangkat sekolah, untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan. Andy F Noya mengangkat LASKAR PELANGI dan Andrea Hirata dalam salah satu acara KICK ANDY karena cerita yang membumi dan mengharukan tersebut, bukan karena sang penulis adalah lulusan Sorbonne.
Seandainya Andrea menulis EDENSOR sebagai novel perdananya, aku tidak yakin bahwa dia akan seterkenal sekarang, meksipun EDENSOR ditulis dengan teknik penulisan yang jauh lebih menarik dibandingkan tatkala Andrea menulis LASKAR PELANGI. Karena dia adalah seorang prodigy dan pekerja keraslah maka dia pun mampu meningkatkan kemampuan menulisnya dalam waktu yang singkat. Apakah karena dia lulusan Sorbonne? Dalam hal ini, mungkin iya. Namun hal ini bukanlah penyebab utama seorang Andrea terkenal di Indonesia, dan kemudian sampai ke manca negara. Lulusan Sorbonne membuat dia seorang prodigy yang semakin terasah.
Salah satu bukti bahwa LASKAR PELANGI lah yang menyebabkan seorang Andrea terkenal adalah buku yang dia tulis sebelum LASKAR PELANGI, buku ilmiah berdasarkan riset tesisnya, SAMA SEKALI TIDAK TERKENAL, sebelum LASKAR PELANGI terkenal.
Any comment, please dear friends?

Friends net 14.24 070209


Rabu, 14 Januari 2009

Cinta 24 Jam versus Lelaki Terindah


CINTA 24 JAM
adalah novel kedua karangan Andrei Aksana yang kubaca, setelah LELAKI TERINDAH. Kesan yang kudapatkan dari kedua novel tersebut, ternyata, sangat bertentangan: aku sangat menyukai LELAKI TERINDAH, sedangkan untuk CINTA 24 JAM, sebaliknya. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Aku termasuk orang yang berpikir bahwa waktu memiliki peran yang sangat penting dalam hidup kita. Saat kita melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apa yang akan ditimbulkan setelah itu. Dan aku yakin hal ini pun berpengaruh dalam kesan yang kudapatkan dari membaca kedua novel hasil karya cucu pujangga Sanoesi Pane dan Armijn Pane ini.


LELAKI TERINDAH kubaca di awal tahun 2005, saat aku sedang head-over-heels-in-love dengan seseorang yang menurut pendapat pribadiku sangat mewakili gambaran seorang Rafky, sang tokoh utama, sang Lelaki Terindah itu. Di setiap detil gambaran betapa indahnya seorang Rafky, melalui kalimat-kalimat puitis Andrei, yang tergambar dalam benakku adalah that guy that had made me head-over-heels-in-love (ehem...) It was not surprising, then, if I nicknamed him as my LT. LOL. Tidak mengherankan pula betapa aku menyukai novel ini, apalagi puisi-puisi romantis untuk sang lelaki terindah tersebar di segala penjuru. (Though feminist, I dub myself as someone strongly romantic.) It seemed like those romantic words came out of my feeling to my most gorgeous guy.

Awal tahun 2005 juga merupakan saat yang tepat bagiku untuk membaca LELAKI TERINDAH yang memiliki topik cinta antar lelaki, pasangan homoseksual, karena sebagai seorang feminis (yang sedang ‘membekali’ diri tentang segala hal yang berhubungan dengan perjuangan kaum yang termarjinalkan) aku pun setuju bahwa kaum homo juga merupakan bagian dari kaum yang sangat dipinggirkan. Orang tidak pernah bisa mau memahami bahwa cinta yang tumbuh antar lelaki, maupun antar perempuan, bisa jadi sama indah dan sucinya dengan cinta yang tumbuh antar pasangan heteroseksual. Andrei menulis kisah cinta antara Rafky dan valent pada saat yang tepat untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa sudah selayaknyalah kita tidak menutup mata dari hadirnya cinta para homo.

Di akhir kisah, memang tokoh valent dimatikan oleh Andrei, seolah-olah untuk menyelesaikan ‘masalah yang tabu’ ini dengan mudah. Bagi para penikmat karya sastra, kita bisa dengan mudah mendapatkan contoh karangan yang berakhir dengan kematian, terutama kalau topik yang diangkat berupa sesuatu yang masih dianggap tabu, pada waktu karya tersebut ditulis. Sang pengarang tidak mau mengambil resiko dicaci-maki oleh masyarakat, sehingga membunuh salah satu karakter dalam ceritanya adalah satu jalan keluar yang paling gampang. Kita bisa menyimpulkan, seberani apapun Andrei mengangkat topik yang masih tabu ini (nampaknya sampai sekarang pun masih saja dianggap tabu), dia pun tunduk pada ‘pakem’, membunuh salah satu tokoh homo dalam LELAKI TERINDAH, yakni valent, agar akhirnya cinta ‘terlarang’ ini pun kandas di tengah jalan.

Aku membeli novel CINTA 24 JAM karena hasil provokasi seorang online buddy yang katanya novel ini pun bertabur puisi romantis. Kebetulan juga karena GM memberikan tawaran yang menggiurkan, diskon 30%. Juga merupakan satu kebetulan akhir-akhir ini aku sedang suka menulis puisi. Asaku adalah: who knows some poems in it will inspire me to write some poems to post in my blog.

Setelah membeli novel tersebut, aku tidak langsung membacanya karena aku sedang membaca MISSING MOM written by Joyce Carol Oates. Novel berikut yang menungguku untuk membaca adalah MARYAMAH KARPOV. Adalah satu kebetulan pula aku membaca novel CINTA 24 JAM setelah aku menyelesaikan membaca MK. Tidak ada alasan ilmiah tertentu mengapa aku memilih membaca novel karya Andrei Aksana ini, selain mungkin aku berpikir, “I want to write some poems...” padahal pada saat yang sama, aku memiliki beberapa pilihan novel lain.

Puisi yang dipilih untuk ditampilkan di cover belakang sama sekali tidak membuatku terperangkap pesona. (Bandingkan dengan puisi di cover belakang LT yang langsung membuatku serasa ditarik oleh magnet sekuat terjangan badai topan untuk membelinya.) Puisi di halaman dalam, setelah membuka cover depan, well, not bad, untuk melumerkan hati seseorang yang telah mencuri hati. Sayangnya, I am not head-over-heels-in-love with anyone at the moment. Here is the poem:


Setelah beribu malam pudar meninggalkan sunyi

Setelah beribu mimpi pergi menyisakan nyeri

 

Malam itu

Kumengerti yang kucari

Kumengerti yang kunanti

 

Satu

Seorang

 

Dirimu ..

Klepek-klepek. LOL. Gombal habisss. LOL.

Tatkala membaca lembar demi lembar, langsung kusadari betapa dangkal kisah yang ditulis oleh Andrei. Betapa dangkal pula Andrei mengeksplorasi mengapa hal-hal tertentu terjadi. Penyebab utama tentu karena aku baru saja menyelesaikan membaca novel dengan karakter tokoh yang kuat: Ikal, bersanding dengan tokoh-tokoh lain, seperti Lintang dan Mahar. Cerita MK yang meramu antara dunia keilmiahan dan dunia kemistisan, alur yang memikat, dan tema yang njlimet rapi, serta kedalaman eksplorasi suatu permasalahan, meninggalkan kesan yang kuat dalam benakku. Sebelum itu, aku membaca MISSING MOM dengan alur maju mundur, karakter tokoh Nikki Eaton, seorang perempuan cerdas namun sangat labil dalam emosi, dengan tema kematian sang ibu, masalah batin yang harus dihadapi oleh Nikki, dll sama menariknya dengan MK. (Aku justru heran sebenarya, karena MK bisa membuatku tetap menjaga mood tertarik untuk terus membacanya, padahal Andrea Hirata adalah seorang penulis pemula, dibandingkan dengan Joyce Carol Oates yang telah menulis sejak Andrea belum lahir. Two thumbs up buat Andrea.)

Dalam novel CINTA 24 JAM, kita hanya disodori apa yang biasa kita lihat dalam acara infotainment (and I am absolutely not a fan of it). Perempuan hanya dilihat dari luar, kulit. Kalau memang dikisahkan sang tokoh perempuan Giana adalah tokoh yang cerdas, tak satupun kalimat dalam novel ini yang membuktikan bahwa Giana adalah seseorang yang cerdas. Dia hanyalah makhluk yang beruntung dilahirkan dengan sosok tubuh yang sempurna, memenuhi kriteria kecantikan yang digambarkan iklan-iklan di media massa. Kalau Giana adalah seseorang yang memiliki pendirian yang teguh, pula seorang pekerja keras untuk bisa mengangkat derajat diri dari kemiskinan menjadi aktris papan teratas, tidak satu kalimat pun mendukungnya. Andrei tidak melengkapinya dengan pemaparan karakter sosok Giana secara mendalam.

Menurut pendapatku, novel ini tidak jauh beda dengan cerita-cerita di koran ‘kuning’, yang hanya menjual sensualitas. Yang membedakan adalah: pertama, tentu saja taburan puisi romantis. Kedua, kalimat-kalimat puitis. (maklum, yang menulis adalah cucu pujangga besar Sanoesi Pane dan Armijn Pane) Ketiga, alur yang memang dengan sengaja dibuat maju mundur. Dalam hal alur ini lumayan memikat lah. Namun secara keseluruhan, aku tidak merekomendasikan novel ini kepada mereka yang biasa membaca novel dengan tema yang ‘dalam’ serta eksplorasi karakter tokoh yang kuat dan konflik yang memikat (contoh: BILANGAN FU, tetralogi LASKAR PELANGI, SUPERNOVA series, dll). Akan tetapi, kalau hanya untuk sekedar mengisi waktu kosong menunggu pesanan datang di sebuah kafe, atau antrian di bank yang panjang, ya bolehlah. Atau bagi mereka yang sedang jatuh cinta, ya boleh juga.

Perhaps I will write another article to ‘peel’ this novel further, to show how I hate the way Andrei portrayed the characters of Giana and Drigo, how he was just a wise guy. LOL. He should have been able to make it more worth reading, I assume. Instead, he was just busy trying enchanting his fans by creating the song and being physically narcissistic (look at the back inside cover).

Bagi pecinta Andrei Aksana, sorry ya? Ini kritik membangun loh.

LLT 16.42 130109

Sabtu, 10 Januari 2009

llmiah versus Mistis

Bahwa seorang Andrea Hirata adalah seseorang yang menjunjung tinggi sains merupakan sesuatu yang sangat jelas terlihat dalam keempat novelnya yang tergabung dalam tetralogi LASKAR PELANGI. Alasannya tentu sangat jelas: latar belakang pendidikan yang dia terima di Universitas Sorbonne Prancis, dimana dia bergaul dengan para ilmuwan tingkat tinggi dunia. Dalam tulisan ini, aku akan lebih fokus ke MARYAMAH KARPOV, novel keempat, karena buku inilah buku yang terakhir kubaca. (You can conclude that I am just lazy to browse the other three novels to prove my statement, to prepare this post of mine. LOL.)
Seorang anak pantai desa yang terpencil, yang mendapatkan pendidikan master dalam bidang ekonomi di sebuah universitas paling bergengsi di Eropa, bermimpi untuk membuat perahu dengan tangannya sendiri! Mimpi Ikal ini bisa menjadi nyata karena dorongan dan dukungan kuat dari sang super genius, sahabatnya di kala duduk di bangku SD dan SMP. Lintang—sang Isac Newton-nya Ikal—menjadikan impian itu menjadi nyata dengan perhitungan matematika yang njlimet. Ikal—yang mengaku selalu berada di bawah bayang-bayang kegeniusan Lintang di bangku sekolah—menggabungkannya dengan kerja keras yang tanpa ampun, dengan iming-iming akan menemukan BINTANG KEJORA dalam kehidupan cintanya, A LING.
Pertanyaan selanjutnya adalah: cukupkah ilmu membuat kita mampu memahami segala misteri dalam hidup ini?
Jawabannya ada pada mozaik 60 yang berjudul NAI. Mahar—sahabat Ikal yang lain—berada pada kutub yang berseberangan dengan Lintang yang memandang segala hal dari segi ilmiah. Kebalikannya, Mahar mengimani hal-hal mistis yang tidak akan pernah masuk akal para ilmuwan di Universitas bergengsi manapun di dunia ini. Hal-hal mistis yang bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan akan menceburkan seseorang menjadi musyrik, ahli neraka yang berada paling di keraknya. Dalam NAI, Mahar mementalkan keimanan Ikal kepada segala yang berbau ilmiah, sehinga terpaksa mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi ilmu. Kebalikannya, ada hal-hal yang dengan mudah terpecahkan jika kita menyandarkan kepercayaan diri kepada ilmu.
Ketika membaca perpaduan dua hal ini—yang ilmiah dan masuk akal, konon ciri khas kehidupan orang-orang modern; berbanding lurus dengan yang mistis, konon ciri khas kehidupan orang-orang zaman dahulu kala—mengingatkanku pada BILANGAN FU, novel ketiga karya Ayu Utami. Ayu Utami menjelaskannya dengan sangat sederhana: POINT OF VIEW, alias cara pandang yang berbeda. Orang-orang modern memandang kemistisan—misal: seseorang bisa memelet orang yang mencuri hatinya hanya dengan menjampi-jampi air ludah yang dikeluarkan oleh orang tersebut; atau bahwa Nyi Roro Kidul tetap hidup dan berkuasa di pantai Selatan dan selalu mempersuami semua raja-raja di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta, ataupun Keraton di Kasunanan Mangkunegaran—dengan keukeuh menggunakan kacamata orang modern yang bersandar pada keilmiahan.
Cara mudahnya bagaimana kita bisa menghasilkan ‘pemandangan’ yang berbeda tatkala kita memandang satu permasalahan yang sama tatkala kita memandang dari sisi yang berbeda: lihatlah Tugumuda—the landmark of Semarang—dari arah Wisma Perdamaian, dan dari lantai atas Lawangsewu. Atau contoh lain: dalam salah satu adegan dalam film DEAD POETS SOCIETY, John Keating, sang guru Bahasa dan Sastra Inggris yang baru, meminta siswanya untuk naik meja dan berdiri di atasnya, memandang suasana kelas dari arah yang berbeda. “You’ll find a very different view, that is very interesting.”
Kalau kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa pentingnya memahami segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, untuk menuju kehidupan yang lebih damai di antara kita semua, makhluk penghuni planet Bumi ini. Yang selalu menggunakan kacamata kuda yang bernama “patriarki”, pandanglah—misal, permasalahan poligami—dari kacamata feminis. Contoh lain: para religious snob—from any celestial religion—memandang bahwa Tuhan itu mencintai semua umat-Nya tidak pandang bulu, gunakanlah kacamata para kaum sekuler. Para kaum heteroseksual yang merasa diri ‘normal’, cobalah menggunakan kacamata kaum homoseksual. Dalam hal ini, para religious snob pun bisa mengaplikasikannya, sehingga tidak selalu menyerang kaum homoseksual dari satu kacamata saja, dari satu interpretasi ayat kitab Suci saja.
Jika para pengunjung dan pembaca blogku ‘membalikkannya’ dengan mengatakan, “Na, cobalah kamu pahami kasus poligami bukan dari interpretasi Alquran yang feminis, namun dari interpretasi yang patriarkal...” oh well, aku telah hidup menggunakan kacamata TUNGGAL interpretasi Alquran yang patriarki selama 35 tahun takala aku mendapatkan pencerahan dari ideologi feminisme, so, I do understand it very well.
Kembali ke cara pandang yang ilmiah dan mistis (baik dalam MARYAMAH KARPOV maupun BILANGAN FU), well, hidup ini memang sangatlah kaya dan kompleks. Mari kita menikmatinya dengan cara saling toleran satu sama lain, untuk menciptakan kehidupan yang lebih indah dan damao.
LL Tbl 11.34 100109

Selasa, 06 Januari 2009

TOP TEN BLOGGER 2008

http://fatihsyuhud.com/2008/12/31/top-ten-blogger-indonesia-2008/

Top Ten Blogger Indonesia 2008

Posted on December 31, 2008
Filed Under Blogger Indonesia, Indonesia, blogging

The essence of blogging, as I put it as a jargon in my Bahasa Indonesia blog, is to culturalize the tradition of writing and reading. Many Indonesians, like those who are from developing or underdeveloped nation, don’t have the habit of writing and reading. They talk a lot. Write and read less. And that’s why, some foreign academicians who come to Indonesia were a bit shocked to find out the lack of reading and writing habit among Indonesians even within the so-called middle class family. The lack of reading naturally would end up in the lack of blog content “charisma”.

There are a few exception, however. Those who can adopt a new positive tradition of modernity–in reading a lot. As a result they write many good articles, creating nice and unique posts and even making an enlightening comments in other blogs.

That’s one reason among others why I’d like to dedicate this year’s Top Ten Blogger Indonesia 2008 specifically to those who consistently make a good content, and no less important, write relatively regularly. A content which is unique and enlightening. By so doing I hope what they have done will be emulated by others especially those bloggers who come later. It’s also my own way to appreciate and encourage those who passionately write good blog articles without worrying or thinking about traffics. A good content blog may not make a big traffic, and thus, a big impact in a short term, but certainly they will in a long shot.

Blogs has grown rapidly in Indonesia. Ten or even hundreds of blogs are born everyday. They start blogging for various reasons. Either way they are an asset to make the tradition of writing and reading blossom in the unlikely place like Indonesia in which the middle class hobby and dream is nothing but to have a nice house, fancy cars and the collection of Chinese old ceramic instead of books.

Last but not the least, there are so many good blogs with good content. It’s a pity that I can pick only ten. It should not be understood, therefore, that the others ten are less good. The links in the bloggers’ name will direct you to the Blogger Indonesia of the Week review of a particular blogger from which you will find the blogger’s URL.

***

The Top Ten Blogger Indonesia 2008

1. Nana Podungge

2. Tasa Nugraza Barley

3. Rima Fauzi

4. Primadonna Angela

5. Agni Amorita

6. Anita Carmencita

7. Mulya Amri

8. Deden Rukmana

9. Sherwin Tobing

10. Dedi W. Sanusi

Happy New Year 2009 Everyone! Nothing like feeling anew and start afresh all the time! :)


SURPRISE ...

How long have I been idle to write in my 'intellectual' blog located at http://afeministblog.blogspot.com ?
Several months have passed since I started working as a school teacher that is really time-consuming (as well as energy-consuming!)
I have been complaining to myself due to this. So many complaints (seeing the injustice that happens to the marginalized ...) have been crowding my mind.
But I can only complain because I am just a very bad time manager: I cannot manage my time well: teaching, teaching, and teaching, then reading, biking, swimming, and writing, not to mention my chores as Angie's mother (just imagine the abundant things a single parent must do).
And last two-week-end-of-year holiday, I COULD only write two articles ("Feminism" and "True woman = modern feminists?") I still cannot spare time to write my 'abundant ideas' triggered by watching INTO THE WILD, and about Irshad Manji, the Muslim feminist lesbian.
That's why what a surprise to find an email in my mailbox from someone I don't know personally, to congratulate me. What congratulation is for? Curious, I opened it. And ... A Fatih Syuhud, the 'king blogger' in Indonesia who 'found' my blog in 2006 and featured me in his blog, has selected the TOP TEN BLOGGER 2008. And ... my blog is in among those TOP TEN BLOGGER 2008.
W-O-W ...
Here is the link. Click it ...

http://fatihsyuhud.com/2008/12/31/top-ten-blogger-indonesia-2008/

I am obviously indebted to many bloggers--that I don't remember or even don't know--who have given the link to my blog in their blogs. The link apparently lead the visitors in their blog to visit my blog.
I am also indebted to those people who have visited my blog, for sure.

I AM STILL DUMB-FOUNDED HERE.

C-Net 21.09 060109