CINTA 24 JAM adalah novel kedua karangan Andrei Aksana yang kubaca, setelah LELAKI TERINDAH. Kesan yang kudapatkan dari kedua novel tersebut, ternyata, sangat bertentangan: aku sangat menyukai LELAKI TERINDAH, sedangkan untuk CINTA 24 JAM, sebaliknya. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Aku termasuk orang yang berpikir bahwa waktu memiliki peran yang sangat penting dalam hidup kita. Saat kita melakukan suatu kegiatan sangat menentukan apa yang akan ditimbulkan setelah itu. Dan aku yakin hal ini pun berpengaruh dalam kesan yang kudapatkan dari membaca kedua novel hasil karya cucu pujangga Sanoesi Pane dan Armijn Pane ini.
LELAKI TERINDAH kubaca di awal tahun 2005, saat aku sedang head-over-heels-in-love dengan seseorang yang menurut pendapat pribadiku sangat mewakili gambaran seorang Rafky, sang tokoh utama, sang Lelaki Terindah itu. Di setiap detil gambaran betapa indahnya seorang Rafky, melalui kalimat-kalimat puitis Andrei, yang tergambar dalam benakku adalah that guy that had made me head-over-heels-in-love (ehem...) It was not surprising, then, if I nicknamed him as my LT. LOL. Tidak mengherankan pula betapa aku menyukai novel ini, apalagi puisi-puisi romantis untuk sang lelaki terindah tersebar di segala penjuru. (Though feminist, I dub myself as someone strongly romantic.) It seemed like those romantic words came out of my feeling to my most gorgeous guy.
Awal tahun 2005 juga merupakan saat yang tepat bagiku untuk membaca LELAKI TERINDAH yang memiliki topik cinta antar lelaki, pasangan homoseksual, karena sebagai seorang feminis (yang sedang ‘membekali’ diri tentang segala hal yang berhubungan dengan perjuangan kaum yang termarjinalkan) aku pun setuju bahwa kaum homo juga merupakan bagian dari kaum yang sangat dipinggirkan. Orang tidak pernah bisa mau memahami bahwa cinta yang tumbuh antar lelaki, maupun antar perempuan, bisa jadi sama indah dan sucinya dengan cinta yang tumbuh antar pasangan heteroseksual. Andrei menulis kisah cinta antara Rafky dan valent pada saat yang tepat untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa sudah selayaknyalah kita tidak menutup mata dari hadirnya cinta para homo.
Di akhir kisah, memang tokoh valent dimatikan oleh Andrei, seolah-olah untuk menyelesaikan ‘masalah yang tabu’ ini dengan mudah. Bagi para penikmat karya sastra, kita bisa dengan mudah mendapatkan contoh karangan yang berakhir dengan kematian, terutama kalau topik yang diangkat berupa sesuatu yang masih dianggap tabu, pada waktu karya tersebut ditulis. Sang pengarang tidak mau mengambil resiko dicaci-maki oleh masyarakat, sehingga membunuh salah satu karakter dalam ceritanya adalah satu jalan keluar yang paling gampang. Kita bisa menyimpulkan, seberani apapun Andrei mengangkat topik yang masih tabu ini (nampaknya sampai sekarang pun masih saja dianggap tabu), dia pun tunduk pada ‘pakem’, membunuh salah satu tokoh homo dalam LELAKI TERINDAH, yakni valent, agar akhirnya cinta ‘terlarang’ ini pun kandas di tengah jalan.
Aku membeli novel CINTA 24 JAM karena hasil provokasi seorang online buddy yang katanya novel ini pun bertabur puisi romantis. Kebetulan juga karena GM memberikan tawaran yang menggiurkan, diskon 30%. Juga merupakan satu kebetulan akhir-akhir ini aku sedang suka menulis puisi. Asaku adalah: who knows some poems in it will inspire me to write some poems to post in my blog.
Setelah membeli novel tersebut, aku tidak langsung membacanya karena aku sedang membaca MISSING MOM written by Joyce Carol Oates. Novel berikut yang menungguku untuk membaca adalah MARYAMAH KARPOV. Adalah satu kebetulan pula aku membaca novel CINTA 24 JAM setelah aku menyelesaikan membaca MK. Tidak ada alasan ilmiah tertentu mengapa aku memilih membaca novel karya Andrei Aksana ini, selain mungkin aku berpikir, “I want to write some poems...” padahal pada saat yang sama, aku memiliki beberapa pilihan novel lain.
Puisi yang dipilih untuk ditampilkan di cover belakang sama sekali tidak membuatku terperangkap pesona. (Bandingkan dengan puisi di cover belakang LT yang langsung membuatku serasa ditarik oleh magnet sekuat terjangan badai topan untuk membelinya.) Puisi di halaman dalam, setelah membuka cover depan, well, not bad, untuk melumerkan hati seseorang yang telah mencuri hati. Sayangnya, I am not head-over-heels-in-love with anyone at the moment. Here is the poem:
Setelah beribu malam pudar meninggalkan sunyi
Setelah beribu mimpi pergi menyisakan nyeri
Malam itu
Kumengerti yang kucari
Kumengerti yang kunanti
Satu
Seorang
Dirimu ..
Klepek-klepek. LOL. Gombal habisss. LOL.
Tatkala membaca lembar demi lembar, langsung kusadari betapa dangkal kisah yang ditulis oleh Andrei. Betapa dangkal pula Andrei mengeksplorasi mengapa hal-hal tertentu terjadi. Penyebab utama tentu karena aku baru saja menyelesaikan membaca novel dengan karakter tokoh yang kuat: Ikal, bersanding dengan tokoh-tokoh lain, seperti Lintang dan Mahar. Cerita MK yang meramu antara dunia keilmiahan dan dunia kemistisan, alur yang memikat, dan tema yang njlimet rapi, serta kedalaman eksplorasi suatu permasalahan, meninggalkan kesan yang kuat dalam benakku. Sebelum itu, aku membaca MISSING MOM dengan alur maju mundur, karakter tokoh Nikki Eaton, seorang perempuan cerdas namun sangat labil dalam emosi, dengan tema kematian sang ibu, masalah batin yang harus dihadapi oleh Nikki, dll sama menariknya dengan MK. (Aku justru heran sebenarya, karena MK bisa membuatku tetap menjaga mood tertarik untuk terus membacanya, padahal Andrea Hirata adalah seorang penulis pemula, dibandingkan dengan Joyce Carol Oates yang telah menulis sejak Andrea belum lahir. Two thumbs up buat Andrea.)
Dalam novel CINTA 24 JAM, kita hanya disodori apa yang biasa kita lihat dalam acara infotainment (and I am absolutely not a fan of it). Perempuan hanya dilihat dari luar, kulit. Kalau memang dikisahkan sang tokoh perempuan Giana adalah tokoh yang cerdas, tak satupun kalimat dalam novel ini yang membuktikan bahwa Giana adalah seseorang yang cerdas. Dia hanyalah makhluk yang beruntung dilahirkan dengan sosok tubuh yang sempurna, memenuhi kriteria kecantikan yang digambarkan iklan-iklan di media massa. Kalau Giana adalah seseorang yang memiliki pendirian yang teguh, pula seorang pekerja keras untuk bisa mengangkat derajat diri dari kemiskinan menjadi aktris papan teratas, tidak satu kalimat pun mendukungnya. Andrei tidak melengkapinya dengan pemaparan karakter sosok Giana secara mendalam.
Menurut pendapatku, novel ini tidak jauh beda dengan cerita-cerita di koran ‘kuning’, yang hanya menjual sensualitas. Yang membedakan adalah: pertama, tentu saja taburan puisi romantis. Kedua, kalimat-kalimat puitis. (maklum, yang menulis adalah cucu pujangga besar Sanoesi Pane dan Armijn Pane) Ketiga, alur yang memang dengan sengaja dibuat maju mundur. Dalam hal alur ini lumayan memikat lah. Namun secara keseluruhan, aku tidak merekomendasikan novel ini kepada mereka yang biasa membaca novel dengan tema yang ‘dalam’ serta eksplorasi karakter tokoh yang kuat dan konflik yang memikat (contoh: BILANGAN FU, tetralogi LASKAR PELANGI, SUPERNOVA series, dll). Akan tetapi, kalau hanya untuk sekedar mengisi waktu kosong menunggu pesanan datang di sebuah kafe, atau antrian di bank yang panjang, ya bolehlah. Atau bagi mereka yang sedang jatuh cinta, ya boleh juga.
Perhaps I will write another article to ‘peel’ this novel further, to show how I hate the way Andrei portrayed the characters of Giana and Drigo, how he was just a wise guy. LOL. He should have been able to make it more worth reading, I assume. Instead, he was just busy trying enchanting his fans by creating the song and being physically narcissistic (look at the back inside cover).
Bagi pecinta Andrei Aksana, sorry ya? Ini kritik membangun loh.
LLT 16.42 130109