Searching

Kamis, 24 September 2009

Perempuan Gila

PEREMPUAN GILA: TEMA DALAM KARYA SASTRA
YANG TAK LEKANG OLEH ZAMAN


Pengantar

Bahwa kesustraan memiliki nilai global diamini oleh para kritikus sastra. Pandangan bahwa kesustraan memiliki tema-tema yang ‘everlasting’ dan cenderung berulang di abad-abad selanjutnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Virginia Woolf “Books continue eeeach other”. Tidak penting apakah karya sastra tersebut dihasilkan di belahan bumi Barat maupun Timur, di abad terdahulu maupun abad terkini.

Tulisan ini akan membandingkan dua cerita pendek yang dihasilkan oleh dua penulis perempuan yang hidup di belahan bumi yang berbeda dan abad yang berbeda pula. Cerita pendek yang pertama berjudul “The Yellow Wallpaper” ditulis oleh Charlotte Perkins Gilman, seorang pejuang kesetaraan jender pada zamannya, di tahun 1892 Amerika. Cerita pendek yang kedua berjudul “Jaring Laba-Laba” ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim, seorang cerpenis yang produktif. “Jaring Laba-Laba” termasuk dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004.


 


Sekilas tentang “The Yellow Wallpaper” dan “Jaring Laba-Laba” dan pengarangnya

Banyak kritikus mengatakan bahwa “The Yellow Wallpaper” ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Charlotte Perkins Gilman. Gilman menulis cerpen ini sekitar tahun 1890-1892, pada masa-masa paling sulit dalam hidupnya setelah mengalami serangkaian ‘nervous breakdown’ dan akhirnya demi menyembuhkan diri sendiri, Gilman mengambil jalan yang dianggap sangat kontroversial pada abad tersebut: berpisah dengan suaminya, bepergian ke seluruh penjuru Amerika untuk memberikan ceramah tentang kesetaraan jender dan pentingnya kemandirian finansial bagi kaum perempuan, serta menulis.

“The Yellow Wallpaper” merupakan salah satu media yang ingin dia sampaikan ke publik bahwa bagi perempuan seperti dia, kebebasan berkreasi—misal dalam hal menulis—dan mengungkapkan stimulasi intelektual jauh lebih penting daripada mengerjakan tugas-tugas domestik sebagai seorang ‘ibu rumah tangga’ yang konvensional. Menulis merupakan proses penyembuhan penyakit psikologis yang diderita oleh seorang perempuan karena menulis adalah ‘a healing process of catharsis’.

Ratna Indraswari Ibrahim seorang cerpenis yang berdomisili di Malang. Dia telah menghasilkan ratusan cerpen yang dicetak di banyak media, seperti surat kabar dan majalah, dimana banyak dari cerpen tersebut kemudian dipublikasikan kembali dalam bentuk kumpulan cerpen. Banyak cerpen yang dia tulis bercerita tentang pengalaman perempuan dan banyak pula yang ditulis menggunakan sudut pandang feminis.

“Jaring Laba-Laba” berkisah tentang seorang perempuan yang akhirnya terjerumus ke rumah sakit jiwa setelah perjalanan hidupnya menggiringnya menjadi seorang ibu rumah tangga yang melulu hanya mengabdikan hidup untuk suami dan anaknya, tanpa memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi intelektualitasnya yang cukup tinggi.

Kedua cerpen ini memiliki ending yang kontradiktif, dalam “The Yellow Wallpaper” sang narator tak bernama ini berhasil melepaskan dirinya dari penjara wallpaper dengan mencabik-cabiknya, sedangkan Dina, tokoh perempuan dalam “Jaring Laba-Laba” membiarkan dirinya terperangkap dalam jaring laba-laba. Wallpaper dan jaring laba-laba ini merupakan analogi kultur patriarki dimana kedua tokoh perempuan ini hidup.

Tema “Woman Madness” dalam “The Yellow Wallpaper”

“Madness” alias kegilaan merupakan tema yang selalu diulang-ulang ditulis dalam karya sastra sejak penulisan drama tragedi zaman Yunani Kuno. Namun pada abad kesembilan belas dan duapuluh, tema ini lebih difokuskan pada kehidupan kaum perempuan. Perempuan gila yang digambarkan dalam novel Jane Eyre karangan Charlotte Bronte, Mrs Dalloway karangan Virginia Woolf dan The Bell karangan Sylvia Plath memiliki karakter yang sama: sesosok figur yang penuh kemarahan yang tidak memiliki kemampuan untuk menekan penderitaannya dan mengungkapkannya dalam suatu hal yang bisa dipahami oleh masyarakat.

Menyikapi tema ini, Phyllis Chesler dalam bukunya Women and Madness menyatakan bahwa “because the mental health system is patriarchal, women are often falsely labelled as being "mad" if they do not conform to stereotypical feminine roles”. Perempuan sering dianggap gila tatkala mereka tidak mengikuti konsensus kultur patriarki tentang perempuan “sejati” sistem kesehatan mental itu sendiri bersifat patriarki. Kacamata patriarki merupakan satu-satunya yang dipakai dalam memandang kesehatan mental perempuan.

Tema utama dalam buku Phyllis Chesler ini sangat tepat dipakai untuk membidik apa yang terjadi kepada sang narator tanpa nama dalam “The Yellow Wallpaper” maupun Dina, tokoh perempuan dalam “Jaring Laba-Laba”. Sang narator tanpa nama ‘diistirahatkan’ dalam sebuah rumah yang terletak jauh dari masyarakat oleh suaminya yang dokter tatkala dia ‘gagal ‘ melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dari anak yang baru saja dia lahirkan. 

 
Perempuan tanpa nama ini dikisahkan sebagai seorang perempuan yang lebih memilih menulis untuk mengungkapkan sisi intelektualnya. Hal ini dipandang sangat tidak lazim pada abad tersebut sehingga bisa dipahami jika dia pun dianggap gila oleh suami dan keluarganya yang lain. Untuk ‘menyembuhkan’nya, dia pun ‘dipenjara’ dalam rumah peristirahatan dimana dia tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa pun kecuali suami dan saudara perempuannya yang bertugas mengasuh bayinya serta mengawasi sang narator tanpa nama agar dia tidak lagi melakukan kegiatan yang konon membuatnya kehilangan akal sehatnya: menulis.

Charlotte Perkins Gilman sengaja tidak memberi nama tokoh utama dalam cerpen ini untuk mengungkapkan betapa tidak pentingnya tokoh satu ini sehingga dia tidak layak memiliki nama; tidak layak memilik sebuah identitas pribadi selain sebagai ‘istri si fulan’ atau pun ‘ibu si fulan’.
“The cult of true womanhood” saat itu masih sangat kental melingkupi kultur patriarki Amerika. Perempuan sejati haruslah mengikuti empat prinsip utama: piety (kerelijiusan), purity (kesucian), submission (kepatuhan), dan domesticity (domestikasi). Sang narator tanpa nama jelaslah telah melanggar empat prinsip utama ini. Dia dianggap tidak relijius karena tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh suaminya, seorang laki-laki (maskulin) yang pada tingkat tertentu dianggap memiliki kuasa di hadapan istrinya (feminin), seperti Jesus (maskulin) atas umat-Nya (feminin). Hal ini berkaitan erat dengan prinsip ketiga, yakni submission, dia tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh suaminya: lebih memilih menulis padahal sang suami telah melarangnya melakukan kegiatan yang berhubungan dengan intelektualitas. Sang narator tanpa nama juga telah melanggar prinsip kedua, purity. Dia membiarkan otaknya tidak pure alias suci karena memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dia pikirkan. Prinsip keempat—domesticity—merupakan satu hal yang terlihat dengan mata telanjang, titik kulminasi prinsip perempuan sejati yang telah dia langgar: dia lebih memilih menulis daripada melakukan tugas-tugas domestik kerumahtanggaan: mengurus rumah, suami, dan anak. ‘Dosa besar’ yang dia ungkapkan dalam kegiatan menulisnya adalah dia ingin membagi keresahan hatinya dengan para perempuan lain, ‘meracuni’ perempuan lain untuk setuju dengan cara berpikirnya: mengejar sisi intelektualnya dengan menulis lebih ‘fulfilling’ ketimbang melakukan pekerjaan rumah tangga.

Tema “Woman Madness” dalam “Jaring Laba-Laba”

Cerpen “Jaring Laba-Laba” menggambarkan perjalanan psikologis Dina dari seorang perempuan yang di awal cerita merupakan seorang perempuan yang mengejar kepuasan intelektual untuk mengisi hidupnya (dengan kuliah S2 di mancanegara), dan setelah menikah terpaksa meninggalkan sisi intelektualnya demi melakukan pekerjaan rumah tangga, sebagai istri dan ibu. 

 
Konstruksi kultur patriarki disuarakan oleh ibu sejak Dina masih kecil—dia harus menjaga kamarnya bersih dari sarang laba-laba karena dia perempuan, sedangkan kakaknya yang laki-laki boleh saja jika memiliki kamar yang kotor karena dia laki-laki. Konstruksi ini diteruskan oleh Bram, suaminya, setelah mereka kembali ke Indonesia. Mengacu ke penggambaran tokoh perempuan gila yang di abad kesembilan belas dan dua puluh sebagai perempuan histeris yang penuh kemarahan dan kesedihan dan tak mampu menemukan cara untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dalam hati untuk dipahami oleh masyarakat (dalam hal ini oleh Bram, anaknya, beserta tokoh ibu), akhirnya Dina pun ‘dipenjarakan’ di rumah sakit jiwa.

“The cult of true womanhood” yang sangat dominan mempengaruhi kultur patriarki Amerika pada abad sembilan belas sampai awal abad dua puluh masih terlihat jelas pada cerpen “Jaring Laba-Laba” yang ditulis di awal abad dua puluh satu Indonesia. Tokoh Dina tunduk (submission)) pada apa yang dikatakan oleh ibu dan suaminya untuk menjadi makhluk domestik (domesticity), namun dia sendiri merasa terpenjara di dalamnya. Karena patriarki merupakan satu-satunya kultur yang dianggap benar, Dina pun tak kuasa untuk menyuarakan kata hatinya. 

 
Tokoh Bram setali tiga uang dengan John, suami sang narator tanpa nama dalam “The Yellow Wallpaper” yang merasa dirinya telah menjadi suami yang baik. “Saya tidak tahu mengapa kau depresi? Apakah saya suami yang tidak baik? Saya tidak berselingkuh dengan siapa pun, sebisa-bisanya, saya ingin menjadi suami dan bapak yang baik.” Jika Bram memasukkan Dina ke rumah sakit jiwa, John mengisolasi istrinya di dalam sebuah rumah peristirahatan yang jauh dari mana pun.

Seperti yang ditulis pada bagian awal, ending cerita kedua cerpen ini agak kontradiktif. Dalam “The Yellow Wallpaper” sang narator dikisahkan ‘berhasil’ keluar dari wallpaper yang memenjarakannya. Para kritikus sastra memandang hal ini dari dua kacamata yang berbeda, sebagian berpendapat bahwa akhirnya sang narator benar-benar menjadi gila karena dia dikisahkan merangkak di seluruh penjuru kamarnya dimana wallpapernya telah berhasil dia cabik-cabik. Dia kunci pintu kamarnya dan membuang kuncinya sehingga John tidak berhasil masuk kamar untuk melihat apa yang terjadi kepada istrinya. Sebagian kritikus lain berpendapat bahwa akhirnya sang narator berhasil melepaskan diri dari kungkungan kultur patriarki yang disimbolkan oleh ‘wallpaper’ karena sang perempuan yang dilihat oleh sang narator berada di balik wallpaper telah berhasil keluar setelah wallpaper tersebut dicabik-cabik. 

 
Di akhir cerita “Jaring Laba-Laba” dikisahkan Bram dan anaknya menjemput Dina dari rumah sakit karena dokter menyatakan dia telah sembuh dan bisa kembali ke keluarganya. Pernyataan ‘sembuh’ dari dokter justru membuat Dina khawatir karena dia tak lagi bisa melihat jaring laba-laba yang disebabkan oleh rasa ‘cinta’ suami dan anaknya dalam bentuk pemaksaan mengerjakan tugas domestik rumah tangga. Oleh karena itu, tatkala dilihatnya Bram dan anaknya datang menjemputnya, Dina lebih memilih berlari menjauh. Hal ini bisa diintepretasikan bahwa Dina dengan sadar lebih memilih untuk tidak tunduk pada konstruksi kultur patriarki. Kembali ke rumah untuk menjadi istri dan ibu yang baik menurut kacamata patriarki akan membuat Dina kehilangan akal sehatnya lagi.

Kesimpulan

Kemiripan kisah dua cerpen ini membuat keduanya bisa dianggap sebagai karya sastra yang memiliki tema yang universal: woman madness alias perempuan gila. Perbedaan abad saat penulisan kedua cerpen tersebut menunjukkan bahwa bahkan di abad kedua puluh satu ini, dengan paham feminisme alias kesetaraan jender yang telah meluas ke seluruh penjuru dunia selama beberapa dekade ternyata tidak menunjukkan banyak perubahan pada sisi kehidupan perempuan. Masih ada kalangan masyarakat yang kultur patriarkinya sangat kental dan perempuan pun menjadi korban yang tidak akan pernah bisa dipahami.

PT56 10.25 220909

Minggu, 06 September 2009

Dua Wanita Cantik


Ini adalah judul sebuah cerpen karangan Jujur Prananto yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Cerpen ini langsung menarikku untuk membacanya—dibandingkan dengan cerpen-cerpen lain karena ditilik dari judulnya, cerpen ini akan bercerita tentang perempuan. Apa yang ditulis oleh seorang laki-laki tentang perempuan? Mengapa kata ‘cantik’ perlu ditulis dalam judulnya?


Para ‘pejuang’ feminis lebih suka menggunakan istilah ‘perempuan’ daripada ‘wanita’. Singkat cerita, kata ‘wanita’ menurut “Old Javanese English Dictionary” (Zoetmulder, 1982) berarti “yang diinginkan”. Dalam kultur heteroseksual, yang menginginkan wanita tentu saja pria. Wanita akan merasa ‘penting’ jika dia diinginkan oleh pria. Dalam hal ini tentu saja kata ‘wanita’ memiliki sifat ‘diobjekkan’. Sedangkan kata ‘perempuan’ berasal dari kata dasar ‘empu’ yang berarti ‘yang mahir’. Hal ini berarti kata ‘perempuan’ memiliki sifat sebagai subjek.


Itu sebabnya, LSM ataupun organisasi perempuan lebih suka menggunakan kata ‘perempuan’ daripada kata ‘wanita. Contoh: LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak) Jogjakarta, dll. Para ‘pejuang’ perempuan tentu ingin perempuan menjadi subjek, menjadi penentu bagaimana dia akan mengambil langkah dalam hidupnya, terlepas dari konsensus yang ada dalam masyarakat patriarki.


Dua perempuan cantik dalam cerita tersebut ternyata seorang ibu dan anak remajanya. Dikisahkan keduanya sama-sama cantik dan mereka berdua sama-sama menikmati kecantikan mereka sehingga mereka pun ‘tergelincir’ melakukan kesalahan yang sama, yang melulu dikarenakan kecantikan fisik mereka. 


Jika kukaji dari pemilihan kata ‘wanita’ sebagai judul, dan bukannya ‘perempuan’, bisa dipahami jika kedua perempuan tersebut terlena tatkala mereka menyadari bahwa mereka ‘diinginkan’ oleh pria; tidak mereka gunakan akal sehat mereka sehingga gampang saja diiming-imingi oleh harta. Kalau menggunakan kata ‘perempuan’, sebagai seorang ‘empu’, tidak selayaknya perempuan mudah dibohongi. 


Hal ini membuatku bertanya-tanya:


Sedemikian rendahkah laki-laki memandang perempuan yang ‘hanya’ memiliki kecantikan fisik? Kalau memiliki kecerdasan, kayaknya ga mungkin kalau sampai terpedaya.


Ataukah memang para perempuan itu ‘sedemikian rendah’ sehingga para laki-laki pun berpandangan seperti itu? Sebagai perempuan yang tidak termasuk kategori ini aku tidak pernah bisa mengerti mengapa sebagian perempuan berpikiran seperti ini. 


Perjuangan kaum feminis untuk membuat para perempuan percaya diri, dan bangkit untuk tidak melulu menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki (terutama dalam hal financial) masih membutuhkan waktu lamaaaaaaaaaa. 


Now I want to comment the mother-daughter relationship.


Kekagetan sang Ibu tatkala menemukan lipstick di laci meja belajar sang anak menunjukkan ketidakterbukaan antara ibu dan anak ini. 


Kaget, karena sang ibulah yang selama ini membelikan segala kebutuhan sang anak. Bagaimana mungkin sang anak yang baru berusia 16 tahun bisa memiliki lipstick, satu benda yang menurut sang ibu belum dia perlukan. Lagipula darimana sang anak memiliki uang lebih untuk membelinya?
Apa yang terjadi selanjutnya—seperti yang dikisahkan oleh sang pengarang—menunjukkan keterlambatan sang ibu untuk ‘menyelamatkan’ sang anak agar tidak mengambil langkah ‘keliru’ yang pernah diambilnya dulu. Mengapa terlambat? Karena sang anak telah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan sang ibu dulu, tentu tanpa sepengetahuannya. 


Like mother like daughter.


Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, padahal sang ibu telah menutup rapat-rapat masa lalunya; padahal sang ibu telah memilih jalan ‘taubat’ dengan menutup rapat auratnya, yang berkonotasi dia tak lagi ingin ‘memanfaatkan kecantikan fisiknya’ untuk bertahan hidup, karena pengalaman hidup telah memberikan pelajaran yang berharga untuknya. Darimana cara sang anak meniru masa lalu sang ibu? Atau paling tidak memiliki cara berpikir yang sama dengan sang ibu? Anak perempuan selalu memiliki cara berpikir yang sama dengan sang itu?


Orang bijak bilang bahwa serapat-rapatnya kita menutup bangkai masa lalu, satu saat akan tercium juga. Ini sebabnya aku jauh lebih suka cara Lorelai Gilmore—dalam serial Gilmore Girls—memberitahukan kesalahan besar yang dia lakukan di masa lalu kepada anaknya, agar sang anak tidak melakukan kesalahan yang sama. Lorelai menunjukkan alasan kepada Rorie mengapa dia sampai terjerumus melakukan kesalahan besar itu—cara mendidik sang ibu yang over protective sehingga membuat Lorelai merasa hidup dalam penjara. Oleh karena itu, cara Lorelai membesarkan dan mendidik Rorie menggunakan cara yang bertolak belakang. Hubungan Lorelai dan Rorie jauh lebih menyerupai hubungan two bestfriends, instead of mother-daughter dimana sang ibu seolah memiliki policy ‘mother can do no wrong’ atau ‘you’ve got to do what I told you to do because I am older and more experienced so I know more things than you’.
Tentu tidak ada ilustrasi latar belakang Yustin—sang ibu dalam cerpen “Dua Wanita Cantik”—yang membuatku mengerti mengapa dia mengambil langkah menutupi masa lalunya dari Meta—sang anak. Namun, mengingat budaya orang Indonesia memang seperti ini—menutupi masa lalu dengan harapan bahwa anak-anak tidak akan mengetahui kesalahan besar dan agar anak-anak tidak meniru—bisa jadi memiliki orang tua yang biasa-biasa saja. Kesalahan melulu ada di pundak Yustin yang begitu menikmati kecantikan fisik yang dia miliki di masa remaja, yang membawanya ke sebuah kehidupan yang akhirnya hanya memberinya kepahitan hidup. 


Apa yang akan dilakukan oleh Yustin setelah mengetahui bahwa Meta telah terjerumus melakukan kesalahan yang sama dengan apa yang dulu dia lakukan?


PT56 14.14 060909