Tahun 1998 konon dianggap sebagai awal mula digulirkannya tema-tema yang mengusung suara perempuan. SAMAN, novel pertama karya Ayu Utami, didapuk sebagai karya sastra yang mewakili tema ini. Dalam novel ini Ayu Utami mengkritisi pandangan masyarakat yang mengkultuskan keperawanan perempuan lewat keempat tokoh sentral yang kebetulan perempuan: Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Laila yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tingkat relijiusitas lumayan tinggi dikisahkan menghadapi dilemma tatkala ingin mendobrak kesakralan selaput dara dengan usahanya untuk melakukan sexual intercourse dengan kekasihnya yang kebetulan adalah suami perempuan lain. Cok dikisahkan sebagai pembangkang tentang hal ini dengan memiliki banyak pacar dan sexual intercourse jelas bukan hal yang tabu untuk dia lakukan. Sedangkan Yasmin – a too good to be true character – akhirnya pun menjerumuskan dirinya dengan terlibat pengalaman seksual dengan Saman, sang mantan frater. Shakuntala – mungkin karena kebenciannya pada kaum laki-laki yang dia anggap sebagai pangkal mula permasalahan yang menimpa kaum perempuan – merusak selaput daranya sendiri. Jika di buku yang kedua, LARUNG, Ayu Utami mengisahkannya sebagai seorang lesbian tentu sangat masuk akal. Kaum feminis radikal menyodorkan lesbianisme sebagai opsi agar sama sekali tidak terlibat dengan kaum laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.
SAMAN kemudian diikuti oleh novel-novel maupun cerita pendek cerita pendek karya penulis perempuan lain dengan menyuguhkan tema yang sama: mendobrak status quo posisi perempuan, baik dalam rumah tangga, maupun dalam relasi hubungan seksual. Beberapa nama penulis perempuan yang mengikuti ‘aliran’ ini misalnya Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu.
Bagaimana dengan penulis laki-laki? Adakah yang kemudian juga menghasilkan karya yang memiliki tema yang sama? Apakah mereka pun menyodorkan wacana dimana si tokoh perempuan bisa dikategorikan sebagai seorang Laila, Yasmin, Cok, atau Shakuntala? Dengan kata lain perempuan adalah subjek dalam menentukan kehidupannya sendiri. Terlepas dari campur tangan dan pandangan laki-laki tentang posisi perempuan yang konvensional.
Tulisan ini akan membandingkan tokoh perempuan dalam cerita pendek berjudul “Janji Jalu” karya Dewi Ria Utari dan “Mengawini Ibu” karya Khrisna Pabhicara.
JANJI JALU
Ada dua tokoh sentral dalam cerpen ini, Galuh dan Nyi Pamengkas, sang Bude. Galuh yang sejak kecil dibesarkan oleh sang Bude – karena kedua orangtuanya dikisahkan merantau ke Abu Dhabi demi masa depan yang lebih menjanjikan namun kemudian ternyata keduanya dikabarkan meninggal dunia dalam sebuah kebakaran yang herannya tidak melukai sang majikan – adalah contoh tokoh perempuan yang masih ‘hijau’, yang tidak mengenal karakter laki-laki dengan baik. Dalam kultur patriarki tidak terhitung jumlah laki-laki yang hanya memanfaatkan keluguan seorang perempuan demi keberhasilan sang laki-laki itu sendiri.
Nyi Pamengkas merupakan tokoh kebalikan dari Galuh. Pengalaman hidupnya mengajarkannya bagaimana dia bisa seolah-olah menjadi ‘korban’ ketamakan kaum laki-laki, namun sebenarnya dia mengambil keuntungan dari ‘sandiwara’ yang dia mainkan itu. Dia memiliki sejumlah laki-laki yang lebih muda darinya untuk klangenan. Para laki-laki itu berpikir mereka bisa mendapatkan keuntungan dari Nyi Pamengkas tanpa mereka sadari bahwa Nyi Pamengkas lah yang paling memperoleh untung dari hubungannya dengan para ‘klangenan’ itu: dia senantiasa awet muda dan memesona meski usianya telah lebih dari kepala lima.
Nyi Pamengkas yang seorang dalang tersohor ingin menurunkan kepiawaiannya kepada Galuh; tidak hanya dalam bidang mendalang namun juga bagaimana bersikap menghadapi laki-laki.
MENGAWINI IBU
Tokoh sentral dalam cerita pendek ini adalah seorang laki-laki yang tidak terima tatkala melihat ayahnya selalu dan selalu menyakiti hati ibunya dengan membawa pulang para perempuan untuk bercinta di rumah. Konon ‘kebiasaan’ ini dimulai ketika sang ibu telah kehilangan kemampuan untuk ‘serve’ sang ayah di tempat tidur.
Sang anak laki-laki selalu memprotes sang ibu yang diam saja dan tidak pernah memprotes tindakan sang ayah yang nampak telah menafikan perasaan istrinya. Sang ibu dikisahkan sebagai seorang perempuan yang senantiasa memiliki berjuta maaf dan berjuta cinta untuk memahami apa pun yang dilakukan oleh sang suami. Namun toh sang anak sering juga melihat luka di mata sang ibu, yang coba dia samarkan dengan kata-kata bijak penuh maaf.
Hingga satu kali sang ibu meninggal dengan membawa luka di hati. Sang anak pun berjanji pada diri sendiri untuk membalas dendam kepada sang ayah, meski sang ibu melarangnya untuk membalas dendam karena biar bagaimanapun, laki-laki berhidung belang itu adalah ayahnya. Dia ternyata tidak akan pernah bisa memaafkan tindak-tanduk ayahnya yang telah membunuh ibunya.
“Jangan tiru kelakuan ayahmu,” pesan sang ibu tetap terngiang di telinga sang anak.
Dia memang tidak dikisahkan menelantarkan istrinya secara psikologis kelak di kemudian hari. Dendamnya kepada ayahnya dia salurkan dengan cara meniduri perempuan-perempuan yang menjadi ‘ibu barunya’, tanpa sepengetahuan sang ayah tentu.
TOKOH PEREMPUAN DALAM KEDUA CERPEN
Dari ringkasan kedua cerita pendek di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pengarang laki-laki dan pengarang perempuan mendudukkan tokoh perempuan dalam posisi yang berbeda. Dewi mengisahkan Nyi Pamengkas yang perkasa, yang menguasai setiap permasalahan dengan kelihaiannya sebagai seorang perempuan. Dia tidak kehilangan kontrol emosi ketika Galuh mengkhianatinya dengan memberikan gunungan emas kepada Jalu, salah satu laki-laki klangenannya yang ternyata menipu Galuh. Bahkan dari kasus ini, dia mengajari Galuh bagaimana bersikap menghadapi laki-laki. Nyi Pamengkas adalah sang subjek.
Sedangkan Khrisna tetap memberikan karakter perempuan yang dipuja dalam kultur patriarki, seorang perempuan yang maha pemaaf dan maha pecinta. Perempuan sang maha ini – tak peduli bagaimana pun caranya meyakinkan sang anak bahwa cinta dan pengertian adalah segalanya dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan catatan pihak perempuan lah yang didudukkan dalam posisi “the most loving, loyal, and understanding angel” – akhirnya dikisahkan meninggal karena tak mampu lagi menahan duka. Kematian yang membebaskan segala duka duniawi? Apa pun itu, tokoh perempuan di sini adalah objek. Sang ibu objek permainan sang ayah. Tokoh-tokoh perempuan yang kemudian menjadi ‘ibu-ibu’ berikutnya adalah permainan sang anak dalam membalas dendam kepada sang ayah.
READER-RESPONSE THEORY
Tatkala sebuah karya diterbitkan dan sampai ke tangan pembaca, para pengikut teori ‘the death of the author’ pun berpesta-pora bagaimana mereka akan menanggapi karya tersebut. Seorang pembaca yang mengimani ideologi feminisme akan sangat memuja karya-karya yang memiliki tema seperti cerpen JANJI JALU, tokoh perempuan adalah subjek. Karya yang mendobrak status quo tentang posisi perempuan yang diobjekkan, yang hanya bisa menangis meski menggunakan ‘cinta’ sebagai tameng.
Meski tentu saja tak bisa kita negasikan bahwa dalam kultur yang masih saja mengunggulkan patriarki ini tokoh perempuan yang merupakan objek bisa jadi merepresentasikan kondisi perempuan dalam banyak kasus di tengah masyarakat. Masih banyak kasus perempuan yang membiarkan dirinya menjadi korban yang diam saja tatkala sang suami berbagi kelamin dengan perempuan lain. Apalagi dengan embel-embel label “perempuan merupakan makhluk sempurna, yang tidak pernah menyadari kesempurnaannya, sebagai satu-satunya kelemahannya.” Perempuan yang dininabobokkan dengan pernyataan “engkaulah ibu semesta dimana pusat segala cinta dan maaf ada dalam dirimu.”
KESIMPULAN
Laki-laki dan perempuan bisa saja mengusung tema yang sama, menyodorkan suara perempuan. Namun, hasilnya bisa jadi tetap terjebak dalam kultur yang telah menjajah kaum manusia sejak zaman yang entah.
GL7 11.44 040311