LELAKI TERCIPTA UNTUK MENINGGALKAN PEREMPUAN?
Sula novel by Toni Morrison |
“Men were created
only to leave their women.” Kata Sula pada Nel, sahabatnya sejak kecil dalam
novel yang berjudul SULA karangan Toni Morrison. Sula menggunakan ‘excuse’ ini
sebagai alasan ketika Nel bertanya kepada Sula mengapa Sula dengan tega tidur
bersama Jude, suaminya Nel. So, tidak peduli dengan siapa pun Jude
berselingkuh, akhirnya Jude toh tetap akan meninggalkan Nel.
Mungkin cara
berpikir Oka Rusmini tidak jauh berbeda dari Toni Morrison lewat penokohan Sula
dalam novelnya ketika dia menulis cerpen (yang panjang) yang berjudul “Tiga
Perempuan”. (Cerpen pertama dalam buku KumCer “Akar Pule”) Pudak – atau sering
disebut ‘jegeg’ maupun ‘tugeg’ si anak pertama – adalah tokoh sentral, si “aku”
dalam cerpen ini. Pudak memiliki seorang adik perempuan bernama Melati. Ketika
mereka masih termata muda, Pudak berusia 8 tahun sedangkan Melati 4 tahun, ayah
mereka – yang disebut ‘Aji’ – meninggalkan istri yang ibu Pudak dan Melati demi
perempuan lain. Karena tidak tahan diperlakukan demikian, ibu mereka pun menyerahkan
Pudak dan Melati kepada nenek dari ayah mereka, yang disebut Tuniang, agar dia
bisa bebas menikah dengan lelaki lain. Istri kedua Aji, memberi seorang anak
perempuan lagi yang namanya tidak disebut oleh Oka.
Kumpulan Cerpen karya Oka Rusmini |
Tanpa alasan yang
jelas Pudak bercerita bahwa suami yang telah dia pilih untuk dia nikahi selama
puluhan tahun memiliki kekasih maya, (Pudak pernah menolak perjodohan yang
diatur oleh neneknya dengan lelaki yang beragama dan kasta sama) dimana mereka
berdua selalu berhubungan di malam hari, mulai pukul sepuluh malam ketika Pudak
baru saja tertidur dengan kedua anaknya, Jasmine dan Plato, hingga pukul empat
pagi. Bahkan mereka berdua menyebut diri sebagai “sejoli malam”. Meski telah
jelas-jelas menemukan bukti perselingkuhannya – lewat email, sms, maupun YM –
sang suami selalu menolak mengakuinya. Terus bersikukuh bahwa hubungan yang
mereka miliki adalah hubungan bisnis semata.
Meski digambarkan
Pudak terus menerus mengeluh, Oka tidak membuatnya sebagai seorang tokoh
perempuan yang gagah berani, misalnya dengan berani memutuskan bercerai. Apakah
karena dia telah dibuang oleh keluarganya karena menikahi lelaki yang berbeda
agama hingga berarti dia juga telah kehilangan posisi terhormatnya sebagai
perempuan yang berasal dari kasta tertinggi? Hanya satu kali dikisahkan Pudak
akan bunuh diri dengan mnjatuhkan mobil yang dia naiki bersama kedua anaknya ke
jurang. Usaha bunuh diri ini digagalkan oleh seorang perempuan yang menatap
matanya dengan tajam dan menyuruhnya untuk menatap wajah kedua anaknya yang
duduk di bangku belakang mobil.
Melati – sang adik –
menikahi lelaki dari agama dan kasta yang sama. Dan ternyata hal ini tidak
berarti bahwa dia memiliki perkawinan yang lebih bahagia dari pada kakaknya.
Oka tidak menjelaskan apa sebabnya sehingga Melati memutuskan bercerai. (Dalam
hal ini Melati terlihat lebih ‘berani’ memutuskan sesuatu demi kelangsungan
hidupnya sendiri.)
“AJI memang bukan bapak yang baik. Mungkin kalian tahu dan paham itu,” ... “Aji tidak akan pernah melarang kalian pulang. Pulanglah kalian, kapan pun kalian mau. (Halaman 15)
Mungkin menyadari
bahwa ketidakbahagiaan anak-anaknya juga berasal dari apa yang dia lakukan di
masa lalu, maka sang ayah pun menawarkan ‘sanctuary’ untuk anak-anaknya. Jika
bagi keluarga ‘terhormat’ (dalam hal agama dan kasta) lain menerima kembali
anak perempuan yang telah menikah merupakan aib, (anak perempuan yang telah
menikah dalam budaya Bali dianggap telah menjadi milik keluarga laki-laki/sang
suami), si tokoh AJI disini memilih sifat yang bertolak belakang. Demi untuk
menebus dosa masa lalu?
Si anak perempuan
ketiga – adik tiri Pudak dan Melati – dikisahkan bunuh diri setelah membunuh
anaknya yang berusia satu tahun. Dia tidak mampu menahan duka hatinya setelah
menangkap basah suaminya berselingkuh sepanjang lima tahun usia pernikahannya.
“Kalau kalian punya problem, datanglah padaku. Rumah besar dan tabunganku masih bisa menghidupi seratus cucuku.” Kata sang Aji dingin, seusai upacara pemakaman anak perempuan bungsunya. (halaman 44)
Dalam cerpen yang
lumayan panjang ini, tidak hanya tiga perempuan ini saja yang memiliki kisah
ditinggalkan oleh lelakinya. Masih ada beberapa tokoh perempuan lain yang
dikisahkan memiliki nasib yang sama, tak pandang apakah dia seorang perempuan
yang cantik jelita, kaya, berpendidikan tinggi, maupun perempuan yang buruk
rupa, miskin, dan tidak berpendidikan. Pada dasarnya mereka akan memiliki kisah
yang sama – ditinggalkan oleh lelaki yang pernah berjanji bahwa mereka akan
menjadi satu-satunya perempuan yang mereka puja.
Jika kita membaca karya-karya
Oka Rusmini, kita akan mendapati beberapa tema utama yang hampir setipe dengan
cerpennya yang berjudul “Tiga Perempuan” ini.
1. Dikhianati oleh lelaki
2. Dibuang oleh keluarga karena (seorang
perempuan) menikahi laki-laki yang beragama lain atau berasal dari kasta yang
lebih rendah
3. Kultur Bali yang sangat patriarki – misal seorang
perempuan otomatis menjadi milik keluarga suami yang menikahinya, dan jika sampai
terjadi perceraian, anak-anak secara hukum adat menjadi milik keluarga ayah
Latar belakang Oka Rusmini
yang perempuan Bali, berasal dari kasta Brahmana, kemudian menikah dengan
laki-laki non Bali tentu sangat mempengaruhi karya-karyanya. Dikarenakan tema
yang sering ‘gloomy’ maka kata-kata yang dipilih pun bernuansa murung, sedih, dan
luka.
Kembali ke awal
tulisan, apakah memang laki-laki tercipta untuk meninggalkan perempuannya (baca
รจ istri) untuk perempuan lain (atau laki-laki
lain?)
PT28 14.14 070712