Ini respons yang
langsung melintas dalam benakku seusai membaca cerpen "Kebun Teh", salah
satu cerpen yang terhimpun dalam KumCer Perempuan Kopi.
Salah satu (atau dua ya?) pembaca yang menghadiri acara bincang-bincang buku Perempuan Kopi pada hari Jumat 22 Juni 2012 telah sempat menyinggung topik cerpen yang satu ini: bahwa perempuan yang hidup di perkebunan dan bekerja menjadi buruh -- atau apa pun posisinya -- tak pernah secara utuh memiliki tubuhnya, dan juga hidupnya. Bahkan, seorang perempuan bisa jadi juga bukan milik suami yang secara legal menikahinya.
Hal ini mengingatkanku ketika membaca novel Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe, yang konon merupakan salah satu trigger pecahnya perang saudara di Amerika Serikat pada tahu 1860 - 1865. Para budak itu sama sekali tak punya hak untuk memiliki hidupnya, hidup mereka adalah milik tuan tanah yang juga memiliki mereka. Terserah para tuan tanah akan melakukan apa pun terhadap hidup para budak itu; misal dijadikan sapi perah untuk terus bekerja dari pagi hingga petang, dijadikan mesin penghasil bayi (agar lebih banyak bayi yang dilahirkan dimana nantinya akan tumbuh menjadi budak yang dimiliki), atau hanya 'sekedar' menjadi budak seks sang tuan tanah.
Meski sangat menentang praktik perbudakan -- dalam bentuk apa pun juga -- aku berpikir yang dilakukan oleh para tuan tanah di Amerika Serikat bagian Selatan waktu itu masih bisa 'dikunyah' akal.
Namun jika ternyata praktik yang tidak jauh beda itu juga dilakukan di perkebunan-perkebunan di Indonesia, dimana para pekerja disana mendapat upah -- yang meski mungkin tidak layak -- akan tetapi predikat mereka bukanlah 'budak', mereka adalah pekerja.
Dewi Nova (DN) menyatakan bahwa ketigabelas cerpen yang dia tulis berdasarkan realitas hidup yang dia amati dalam kehidupannya sehari-hari. Secara lugas DN mengatakan bahwa topik cerpen dalam "Kebun Teh" pun dia ambil dari kenyataan yang pernah dia lihat sendiri.
Seorang peserta bincang-bincang buku "Perempuan Kopi" mengatakan di Kalimantan (atau Sumatra ya?) dia pernah mendapati praktik serupa. Namun lebih 'setara'. Ada suami istri yang posisinya paling tinggi di sebuah perkebunan. Jika sang istri sedang pergi jauh dalam waktu lumayan lama, sang suami meminta anak buahnya untuk bergilir mengirim istri-istri mereka untuk 'menemani'nya. Juga sebaliknya, jika sang suami pergi jauh dalam waktu lama, sang istri akan meminta anak buah suaminya -- yang laki-laki karena kebetulan sang istri ini hetero -- untuk 'menemaninya'.
Ada satu kalimat yang sangat aku sukai dari cerpen "Kebun Teh".
PT28 15.31 230612
Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang akan digusur tanggal 1 Desember 2012 nanti. :'(
Salah satu (atau dua ya?) pembaca yang menghadiri acara bincang-bincang buku Perempuan Kopi pada hari Jumat 22 Juni 2012 telah sempat menyinggung topik cerpen yang satu ini: bahwa perempuan yang hidup di perkebunan dan bekerja menjadi buruh -- atau apa pun posisinya -- tak pernah secara utuh memiliki tubuhnya, dan juga hidupnya. Bahkan, seorang perempuan bisa jadi juga bukan milik suami yang secara legal menikahinya.
Hal ini mengingatkanku ketika membaca novel Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe, yang konon merupakan salah satu trigger pecahnya perang saudara di Amerika Serikat pada tahu 1860 - 1865. Para budak itu sama sekali tak punya hak untuk memiliki hidupnya, hidup mereka adalah milik tuan tanah yang juga memiliki mereka. Terserah para tuan tanah akan melakukan apa pun terhadap hidup para budak itu; misal dijadikan sapi perah untuk terus bekerja dari pagi hingga petang, dijadikan mesin penghasil bayi (agar lebih banyak bayi yang dilahirkan dimana nantinya akan tumbuh menjadi budak yang dimiliki), atau hanya 'sekedar' menjadi budak seks sang tuan tanah.
Meski sangat menentang praktik perbudakan -- dalam bentuk apa pun juga -- aku berpikir yang dilakukan oleh para tuan tanah di Amerika Serikat bagian Selatan waktu itu masih bisa 'dikunyah' akal.
Namun jika ternyata praktik yang tidak jauh beda itu juga dilakukan di perkebunan-perkebunan di Indonesia, dimana para pekerja disana mendapat upah -- yang meski mungkin tidak layak -- akan tetapi predikat mereka bukanlah 'budak', mereka adalah pekerja.
Dewi Nova (DN) menyatakan bahwa ketigabelas cerpen yang dia tulis berdasarkan realitas hidup yang dia amati dalam kehidupannya sehari-hari. Secara lugas DN mengatakan bahwa topik cerpen dalam "Kebun Teh" pun dia ambil dari kenyataan yang pernah dia lihat sendiri.
Seorang peserta bincang-bincang buku "Perempuan Kopi" mengatakan di Kalimantan (atau Sumatra ya?) dia pernah mendapati praktik serupa. Namun lebih 'setara'. Ada suami istri yang posisinya paling tinggi di sebuah perkebunan. Jika sang istri sedang pergi jauh dalam waktu lumayan lama, sang suami meminta anak buahnya untuk bergilir mengirim istri-istri mereka untuk 'menemani'nya. Juga sebaliknya, jika sang suami pergi jauh dalam waktu lama, sang istri akan meminta anak buah suaminya -- yang laki-laki karena kebetulan sang istri ini hetero -- untuk 'menemaninya'.
Ada satu kalimat yang sangat aku sukai dari cerpen "Kebun Teh".
Teringat pesan bapak, jangan pernah melukai tubuh perempuan yang melahirkan anak-anakmu, aku tak pernah membicarakan hal itu dengan istriku, apalagi melukai tubuhnya. (halm. 40)
PT28 15.31 230612
Beberapa komen yang muncul di lapak sebelah, yang akan digusur tanggal 1 Desember 2012 nanti. :'(
afemaleguest wrote on Jun 27
orangjava said
Pekerja Wanita Indonesia di Arab dijadikan BUDAK....
betul itu Pak Dhe :(
|
afemaleguest said
betul itu Pak Dhe :(
Memang
malah ada 2TKI yang dibawa Kedubes ARAB SAUDI, gak boleh keluar mereka
kabur, minta bantuan ke POLISI, anehnya masih saja Pemerintah RI
mengirim tenaga² ke ARAB, aku ora mudenk.......
|
afemaleguest wrote on Jun 27
orangjava said
Memang
malah ada 2TKI yang dibawa Kedubes ARAB SAUDI, gak boleh keluar mereka
kabur, minta bantuan ke POLISI, anehnya masih saja Pemerintah RI
mengirim tenaga² ke ARAB, aku ora mudenk.......
karena pemerintah sendiri ga mampu menyediakan lapangan kerja buat mereka :-(
|
afemaleguest wrote on Jun 27
meluncuuurrr
|
Dulu sampe persoalan ini gede..http://www.spiegel.de/spiegel/print/d-79175749.html.....coba pake Tante GOOGLE...
|
rengganiez wrote on Jun 27
afemaleguest said
dijadikan mesin penghasil bayi (agar lebih banyak bayi yang dilahirkan dimana nantinya akan tumbuh menjadi budak yang dimiliki)
di Indonesia juga ada :-(
|
afemaleguest wrote on Jun 27
sedihnyaaa :-(
|
martoart said
setidaknya
di dunia jaman sekarang secara resmi sudah dinyatakan terlarang. hukum
yg beradab pada moral kemanusiaan suah diterapkan, meski ada praktek yg
melanggarnya.yg sedih adalah di dunia jaman sekarang masih ada yg secara resmi menerapkan hukum tidak beradab. tki yg dikirim, secara hukum negeri penerima bukan lagi dihitung pekerja, tapi dibeli sebagai budak.
Malah BUDAKnya sampe dibawa ke Berlin segala...untung bisa kabur...
|
afemaleguest wrote on Jun 28
how I hate that foolish so-called 'religious' chauvinist country! :-(((
|
afemaleguest wrote on Jun 28
how I hate that country! :-(
|
rembulanku wrote on Jun 28
ck ck ck nasibnya perempuan kok ya masih menyedihkan
|
afemaleguest wrote on Jun 28
begitulah La :-(
|
nanaskuningkeci wrote on Jun 28
jd teringat film Abraham Lincoln : Vampire Hunter mengenai perang amerika itu jadinya
|
afemaleguest wrote on Jun 28
ahaaa
aku belum nonton :-) |