“Berburu Beruang” merupakan salah satu cerpen karangan Puthut EA yang termasuk dalam “Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004”. Tema cerita berkutat pada kisah hidup salah satu tokoh utama yang bernama ‘mas Burhan’ yang diceritakan oleh sang narator – si aku dalam cerpen ini – yang berarti cerpen ini ditulis dari sudut pandang orang pertama tunggal.
Artikel ini akan menyoroti salah satu unsur prosa – tokoh dan karakternya – untuk mencari apa yang ingin disampaikan oleh pengarangnya kepada para pembaca. Ada dua tokoh utama yang akan dianalisis di sini, yakni mas Burhan dan sang ‘aku’.
Mas Burhan dikisahkan sebagai seorang mantan aktivis yang tak pernah lelah berjuang untuk masyarakat kecil melawan ketidakadilan penguasa negara. Sepak terjangnya dimulai semenjak dia duduk di bangku kuliah – dimana dia melibatkan diri dalam ontran-ontran Malari – sampai tiga puluh tahun kemudian dia tetap dikenal sebagai aktivis. Tak heran jika dia dijuluki “pembangkang sepanjang umur” atau “pendekar subversif”. Konon, masyarakat pun memitoskannya.
Seperti sebuah koin, segala sesuatu di dunia ini senantiasa memiliki dua sisi, positif dan negatif. Jikalau mas Burhan dianggap ‘pahlawan’ bagi masyarakat, belum tentu bagi keluarganya sendiri dia juga diberi julukan yang sama. Hal ini terbukti ketika ‘akhirnya’ dia merasa berdosa karena menelantarkan keluarganya sekian lama – tidak memiliki rumah sehingga harus pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain dikarenakan jika dia memiliki uang, dia gunakan uangnya untuk kegiatan sosial; sibuk ‘menjadi aktivis’ sehingga tak pernah menemani keluarganya. Baru di usianya sekitar pertengahan lima puluh tahun, dia akhirnya memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita”. Dia tinggalkan ‘dunia aktivis’ untuk menjadi suami yang seluruh waktunya dia habiskan di tanah pertanian organiknya, dekat dengan keluarganya.
Namun ternyata jiwa aktivisnya tak begitu saja padam setelah dia memutuskan untuk “mesanggrah” dan “mandeg pandhita” Mas Burhan menunjukkan sifat gelisah yang tak mudah dibendung jika terjadi peristiwa yang mengganggu pikirannya, misal tatkala pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM. Dia ingin “turun ke jalan” namun tak diturutkannya hasrat itu. Akibatnya justru membuat repot istrinya, karena dia tidak mau makan dan berhari-hari tinggal di ladang.
Kegelisahannya akan terobati dengan cara dia melakukan suatu kegiatan dimana dia bisa mengeluarkan segenap emosi yang ada di dalam pikirannya. Dalam cerita ini, mas Burhan mengajak sang narator untuk bermain imajinasi dengan berburu beruang.
Sang ‘aku’ yang merupakan sahabat lama mas Burhan sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan sang “pembangkang sepanjang umur” tersebut sehingga dia rela menyempatkan diri berkunjung ke kediaman sahabatnya – meninggalkan kesibukannya sendiri – untuk menemani mas Burhan “bermain-main dengan imajinasinya”.
Dari analisis kedua tokoh di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa jiwa aktivis yang merasuk ke dalam diri mas Burhan tidak begitu saja mudah dikendalikan, disimpan di lubuk hati yang terdalam, kemudian menutup mata dan hati tatkala melihat keangkaramurkaan terjadi. Apalagi dia telah melibatkan diri dalam dunia ‘pembangkangan’ itu dalam kurun waktu yang tidak singkat, lebih dari setengah umur yang telah dia habiskan di muka bumi ini (Di paragraf keempat disebutkan mas Burhan berumur hampir enam puluh tahun.) Seseorang yang berjiwa sosialis tidak akan kehilangan sifat ini sampai berapa pun umurnya.
Dari hubungan baik antara mas Burhan dan sang tokoh ‘aku’, kita bisa menyimpulkan bahwa jiwa ‘brotherhood’ antara sesama aktivis sangatlah kuat terjalin mengingat mereka mengalami masa-masa sulit bersama, membangkang sang penguasa yang lalim bersama-sama dalam kurun waktu tertentu. Rasa ‘kebersamaan’ yang dipupuk tersebut tidak akan hilang dengan mudah, sehingga tatkala salah satu dari mereka membutuhkan pertolongan, yang lain akan segera memberikannya.
PT56 17.47 30.01.2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar