Searching

Senin, 28 Juni 2010

"Perbatasan" dari Sudut Pandang Feminisme



Bahwa karya sastra merupakan satu cermin dari apa yang terjadi di masyarakat adalah satu hal yang telah dikenal semenjak zaman Aristotle, dengan pendekatan yang ia sebut sebagai “mimesis”. Teori ini ‘dikembangkan’ oleh para kritikus Sastra di kemudian hari menjadi “moral-philosophical approach” dimana sebuah karya sastra dianggap sebagai salah satu media untuk mengajarkan moral dan filosofi hidup kepada para pembaca. Di abad 20 dengan adanya “the second wave of feminist movement” di tahun 1960-an, bergulirlah sebuah teori baru yang disebut sebagai “Feminist Literary Criticism” dimana inti utamanya adalah “Reading as a Woman”.

Cerpen-cerpen Dewi Ria Utari bisa dikategorikan sebagai karya sastra yang berpijak pada inti utama Feminist Literary Criticism, yakni “membaca sebagai perempuan”. Dewi menuliskan karya-karyanya menggunakan cara pandangnya sebagai perempuan yang terlepas dari kungkungan budaya patriarkal, dimana sudut pandang laki-laki sebagai yang utama, sedangkan perempuan adalah “the other” atau sang liyan.

Perbatasan adalah salah satu judul cerpen karya Dewi Ria Utari dalam KumCer nya yang berjudul “Kekasih Marionette” (Gramedia, 2009). Cerpen ini berkisah tentang sebuah komunitas masyarakat yang terletak di satu lokasi di bumi, yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang kita kenal dimana kita merupakan salah satu penduduknya. Hanya saja yang membedakan para penghuni kampung di situ dari ‘masyarakat kita’ adalah “kepolosan” mereka memandang nuditas, cara pandang hubungan laki-laki dan perempuan yang murni dan tidak terdistraksi oleh ajaran-ajaran yang hipokrit, dimana selalu dan selalu tubuh perempuan menjadi komoditi yang mungkin diperjualbelikan, atau sebaliknya, harus ditutupi seluruhnya, karena dituduh sebagai sumber kemaksiatan.



Sangat jelas terlihat bahwa melalui cerpen ini Dewi mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah di Indonesia yang menganggap tubuh perempuan seharusnya ‘didomestikasikan’ yang justru semakin “menjauhkan manusia dari naluri mereka” (hal. 129). Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kutipan di bawah ini:

“Perempuan dilarang keluar malam.” (hal. 129)

”Aku bahkan tak habis pikir kenapa menangkapi perempuan yang keluar di malam hari.” (hal. 129)

”Gila! Mandi bersama lelaki dan perempuan? Itu porno sekali!” teriak Susan terkaget-kaget. ... “Porno itu apa? Kenapa kamu bilang gila? Kami bukan orang gila!” kataku. (hal. 126)



Selain mengkritisi UU APP dan peraturan-peraturan yang besumber dari kebencian (atau hiprokisi) dalam memandang tubuh perempuan, Dewi juga menyentil anggapan hubungan LGBT sebagai suatu penyakit masyarakat yang selayaknya dihapuskan. Anggapan ini pun tentu berdasarkan the so-called ajaran yang katanya berasal dari ‘langit’, yang tentu tak bisa dilepaskan dari hasil interpretasi para ahli agama yang notabene juga manusia biasa.

”Bergandengan tangan juga dihukum. Bahkan mereka mulai menangkapi lelaki yang tinggal bersama dengan teman lelakinya, juga perempuan-perempuan yang hidup satu rumah.” ... “Aku tersentak. Tak dapat kubayangkan betapa mengerikannya daerah asal ibuku. Bagaimana mungkin bergandengan tangan pun dilarang. Padahal di kampung ini, setiap orang berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Setiap bertemu, kami berciuman. Baik itu sesama perempuan, sesama lelaki, atau lelaki perempuan. Tak ada yang salah dari semua itu.” (hal. 129)

Judul Perbatasan dipilih oleh Dewi untuk menunjukkan bahwa ada perbatasan yang memisahkan masyarakat yang masih (i>“murni” dalam memandang hubungan laki-laki dan perempuan, dengan masyarakat yang telah terkontaminasi ajaran-ajaran tertentu. Dengan memilih seorang anak perempuan sebagai tokoh utama cerpen, Dewi ingin menekankan bahwa seorang anak itu masih polos memandang aspek-aspek kehidupan ini. Para orang tua yang ada di sekitarnya lah yang akan menyebabkannya menjadi hipokrit ataukah tetap polos.

Kembali ke tesis semula. Dalam cerpen ini Dewi terlihat jelas menggunakan perspektifnya sebagai perempuan yang mampu melepaskan diri dari hegemoni budaya masyarakat patriarki. Pemerintah dengan UU APP dan peraturan-peraturan di beberapa daerah telah begitu menggelisahkan sebagian masyarakat karena dianggap telah sangat campur tangan dalam kehidupan pribadi warga negara, menggunakan parameter yang tidak begitu jelas. Sebagai anggota masyarakat yang ingin mengkritisi pemerintah, kita bebas mengutarakannya melalui media apa saja. Jika aku menggunakan media blog, Dewi menggunakan karya sastra sebagai penyalurannya.

PT56 08.40 280610

Tidak ada komentar:

Posting Komentar