Searching

Rabu, 18 Juni 2008

Kajian Budaya Feminis


 

Aku sedang membaca buku yang berjudul KAJIAN BUDAYA FEMINIS, tulisan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Topik yang akan kubahas kali ini adalah pengaruh budaya Jawa—terutama Bahasa Jawa dalam pengukuhan budaya patriarki.


Aquarini adalah seorang perempuan Sunda yang menikahi seorang lelaki Jawa. Di awal pernikahan mereka, suaminya kadang-kadang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, dan menyebutnya “kowe”. Ketika Aquarini ikut-ikutan menyebut suaminya dengan sebutan “kowe”, saudara suaminya yang mendengarnya, tergopoh-gopoh mendekati Aquarini dan melarangnya menggunakan istilah yang sama. Sang suami boleh menggunakan istilah tersebut, namun sang istri tidak boleh karena itu berarti Aquarini tidak menghormati suaminya yang dalam budaya Jawa memiliki posisi lebih tinggi daripada sang istri yang seorang perempuan. 


Sebagai seorang feminis, tentu saja Aquarini tidak menyukai hal tersebut karena berbicara dalam bahasa Jawa membuat Aquarini harus memposisikan dirinya lebih rendah dari pada sang suami. Akhirnya Aquarini membuat kesepakatan dengan sang suami untuk tidak lagi berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. 


Membaca hal ini mengingatkanku pada pengalamanku sendiri, terutama dalam pernikahanku yang pertama dengan ayah anakku, Angie. 


Meskipun aku tidak memiliki darah Jawa karena kedua orang tuaku berasal dari Gorontalo, aku tidak bisa memungkiri bahwa aku dibesarkan dalam lingkungan orang Jawa, dengan budaya Jawa. Hal tersebut membentukku untuk memposisikan diri lebih rendah dari suami without reserve. Misalnya aku memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ untuk menghormatinya, juga tidak pernah aku menyebutnya ‘kowe’ (sebagai ganti, aku selalu menyebut namanya, dan aku menyebut namaku dan tidak menggunakan istilah ‘aku’); sementara dia bebas saja memanggilku hanya namaku dan menggunakan istilah ‘kowe’ kepadaku. 


Setelah bercerai di tahun 2000, dan terluka karena akhirnya harus kuakhiri semua ‘perjuanganku’ untuk bertahan dalam perkawinan itu, aku tak lagi memanggilnya ‘mas’ ketika berinteraksi. Aku juga menyebutnya ‘kowe’ dan aku masih ingat betapa kaget ekspresi wajahnya ketika pertama kali aku melakukannya. Aku ‘belum’ menjadi seorang feminis waktu itu, namun aku ‘telah mengenali’ suatu keinginan dalam hati bahwa aku menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mungkin bagi banyak orang ini adalah hal sepele, namun bagiku (dan juga bagi Aquarini) merupakan salah satu bentuk arogansi budaya patriarki kepada kaum perempuan.


Ah, hal ini mengingatkanku akan salah satu pertanyaan yang disebutkan Aquarini dalam bukunya. “mengapa kaum feminis meributkan hal-hal yang sudah established dari sononya, dimana sebagian besar dari hal tersebut hanyalah merupakan masalah sepele?” aku pun sering mendapatkan pertanyaan yang sama dari orang-orang di sekitarku, juga dari komentar-komentar yang masuk ke blogku (terutama dari para komentator yang berasal dari Indonesia maupun Malaysia dan Singapore.) Pertanyaan yang sering melukaiku karena betapa banyak orang-orang yang hanya take it for granted atas segala hal yang terjadi sehingga menganggap orang-orang feminis sebagai kumpulan orang-orang yang aneh. 


“Can’t you just be an ordinary wife because I am just an ordinary husband?” (hal. 30)


Pertanyaan ini terlontar dari mulut suami Aquarini tatkala dia lelah berdiskusi tentang segala hal dengan Aquarini. Pertanyaan yang membuat Aquarini melongo. Dan aku pun melongo tatkala membaca pertanyaan tersebut keluar dalam buku KAJIAN BUDAYA FEMINIS ini karena pertanyaan yang sama persis pernah ditanyakan oleh ayah Angie setelah aku membentuk diri menjadi seorang feminis. Ketika kita menikah lagi di tahun 2002, aku masih seorang konvensional yang percaya bahwa aku bisa menjadi seorang superwoman (hasil bentukan orde barunya Soeharto!), berhasil dalam karier namun juga merupakan seorang istri dan ibu yang baik, yang tak pernah sekalipun melupakan tugas-tugas rumah tangga, dan jangan lupa, TETAP MEMPOSISIKAN DIRI LEBIH RENDAH DARI SUAMI (meskipun aku tidak lagi menyebutnya ‘mas’, dan juga menyebutnya ‘kowe’).


Ayah Angie tak lagi mengenaliku dengan identitas baruku—seorang feminis—dengan cara berpikir yang kontradiktif dari aku yang dulu (ditambah lagi seorang sekuler!). Atau mungkin dia masih memimpikan aku untuk kembali menjadi seorang istri yang dia kenali dalam perkawinan kita yang pertama.


Kamu percaya kah kalau kita terbentuk menjadi kita sekarang ini dikarenakan our upbringing, juga pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui dalam hidup ini, sehingga merupakan suatu kemustahilan jika kita akan kembali menjadi kita di masa lalu? 


Aku baru membaca buku KAJIAN BUDAYA FEMINIS ini sampai hal 34 dari keseluruhan buku yang terdiri dari 461. buku ini kubeli hari Kamis 6 Juli 2006. aku selalu membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan membaca sebuah buku. Bukan karena kesibukanku, namun lebih karena kadang aku terlalu begitu hanyut kedalamnya, sehingga, kadang baru membaca satu paragraf atau kadang satu halaman, hal ini bisa membuatku merenung sampai berjam-jam setelahnya, yang tentu saja membuatku berhenti membaca paragraf/ halaman berikutnya. 


PT56 00.27 100706

5 komentar:

Anonim mengatakan...

It must be a very inspiring book, right?

Best,
MR.

Famanti mengatakan...

Dear mbak...

Saya jadi feminist pun karena dengan perkawinan yang berlayanan dengan budaya yang tumbuh dalam keluarga saya.

Saya lahir dari orang tua dari 2 kutub budaya berbeda, Jawa dan Padang. Maun orang tua saya bisa meramu pola asuh yang cukup fair untuk anak-anaknya. Tapi tidak dengan perkawinan saya...

Sepertinya saya harus membaca buku yang mbak telah mbak baca juga.

Salam kenal...

Nana Podungge mengatakan...

Dear Fanny,

memang banyak 'alasan' atau pun 'trigger' ya bagi seorang perempuan untuk mengklaim diri sebagai seorang feminist.

Ga ada salahnya kok membaca buku ini, pengalaman yang ditulis oleh Aquarini terasa seperti pengalaman yang kita alami sendiri. :)

Salam.

Catatan Ambu Nita mengatakan...

Mbak Nana sungguh luar biasa, setelah saya membaca ulasan mbak tentang Bu Atwin (Panggilan Akrab Aquarini) justru saya merasa menemukan cerita dua perempuan yang sama. Apakah perempuan feminis harus melalui fase yang menggugat keperempuannya, mengalami peristiwa yang menguji eksistensinya sebagai perempuan? Dari buku bu atwin tentang kajian feminis ini, yang saya ingat adalah pernyataan Beauvoir tentang perempuan yang semata-mata tidak dilahirkan, perempuan adalah proses menjadi dan proses menjadi takkan pernah berakhir. Terima kasih sudah berbagai mbak, dan salam kenal..

Nana Podungge mengatakan...

Hello Nita Nurhayati,

Thank you for dropping by and leaving a supportive comment. Guess what? I found your comment 10 years later! hihi ... I was too ignorant with my own blog.